"Kondisi dunia perikanan Indonesia saat ini, pasti sangat menggiurkan bagi negara-negara maju yang tingkat konsumsi ikannya selalu meningkat tajam dari tahun ke tahun. Dengan kebutuhan ikan yang tinggi, Amerika Serikat dipastikan tidak ingin posisinya hanya sebagai negara pengimpor, tetapi juga menjadi pemain langsung dari bisnis perikanan di Indonesia," ungkap Anggota DPR Komisi IV, Ono Surono ST, Selasa (19/04/16).
Ono memaparkan, Susi Pudjiastuti melalui visi KKP RI Kedaulatan, Keberlanjutan dan Kesejahteraan, mencoba melakukan pembenahan-pembenahan dengan pendekatan model-model pengelolaan yang banyak dikampanyekan oleh badan-badan dunia, negara-negara maju, terutama Amerika Serikat dan NGO Internasional yang mengarah pada sustainable fisheries (perikanan berkelanjutan) dengan pelarangan kapal perikanan yang dibuat di luar negeri, pelarangan alih muatan, pelarangan penangkapan ikan ukuran tertentu, pelarangan alat tangkap dan mencabut subsidi BBM.
"Dengan kondisi nelayan Indonesia yang sangat berbeda dengan nelayan di negara-maju tersebut maka yang terjadi adalah banyak pengangguran nelayan sebanyak 1 juta orang, produksi perikanan turun 60 persen dan ekspor ikan turun 37.5 persen pada tahun 2015 dibandingkan tahun 2014," paparnya.
Sementara, lanjut Ono, dengan tidak beroperasinya kapal besar sebanyak 1.132 di wilayah ZEE dan Laut Lepas, serta kapal 30 GT ke atas yang dipersulit perizinannya, maka sumber daya ikan di zona-zona penangkapan baik di wilayah yuridiksi maupun ZEE Indonesia sangat melimpah dan tidak bisa dimanfaatkan oleh mayoritas nelayan Indonesia yang kapalnya hanya bisa beroperasi di bawah 12 Mil.
"Saya sangat menyakini bahwa upaya Susi Pudjiatuti yang seakan-akan menghentikan kerjasama bilateral dengan Pemerintah Rakyat Tiongkok dan melakukan kerjasama bilateral dengan Pemerintah Amerika Serikat mempunyai niat baik. Tetapi karena pengalaman beliau yang kurang pada bidang perikanan tangkap kemudian tidak diawali oleh kajian akademis, konsultasi publik dan diintervensi oleh kekuatan lain, maka kebijakan yang diambil malah memporak-porandakan dunia perikanan Indonesia dan membuat nelayan Indonesia menjadi semakin miskin," jelasnya.
Ono juga menjelaskan, menurut artikel 62 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa Negara pantai harus menetapkan kemampuannya untuk memanfaatkan sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif. Dalam hal negara pantai tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang dapat dibolehkan, maka negara pantai tersebut melalui perjanjian atau pengaturan lainnya dan sesuai dengan ketentuan, persyaratan dan peraturan perundang-undangan tersebut pada pasal 4, memberikan kesempatan pada negara lain untuk memanfaatkan jumlah tangkapan yang dapat diperbolehkan yang masih tersisa.
"Sehingga, sangatlah jelas bahwa dengan kondisi perikanan saat ini yang porak-poranda, negara lain sangat mempunyai kepentingan untuk turun langsung mengelola sumber daya perikanan Indonesia," terang kader PDI Perjuangan ini.
Bukan hanya itu, Ono juga mengungkapkan, kepentingan Amerika didukung oleh statement KKP RI pada beberapa media nasional yang menyatakan bahwa tahun 2018 Kapal Asing bisa masuk kembali ke Indonesia dan BPKM yang merilis adanya Penanaman Modal Asing (PMA) pada sektor perikanan tangkap sebesar 17 Juta US Dollar tahun 2015.
" Ini sangat membuktikan bahwa Laut Indonesia Bukan Untuk Rakyat tetapi Laut Indonesia Untuk Bangsa Asing," pungkasnya.