Banyak isu yang lupa diusung dalam pemilu 2009. Selain isu hukum, transparansi juga dianaktirikan. Padahal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang telah disahkan tahun 2008 akan berlaku efektif pada 2010. Menurut Extractive Initiative Transparency Initiative (EITI), keterbukaan sangat penting dalam industri ekstraktif. "Ekstraktif belum jadi core pemilu legislative dan eksekutif," ujar Firdaus Ilyas dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kamis (19/3).
Industri ekstratif ini terdiri dari sektor minyak dan gas (migas) dan sektor pertambangan. Keduanya memberikan pemasukan yang signifikan terhadap APBN. Sehingga saat EITI meluncurkan kampanye "Publish What You Pay" (PWYP)-kampanye yang didukung oleh LSM-LSM untuk menggolkan tranparansi mekanisme pengecekan terhadap revenue transfer perusahaan kepada pemerintah-ide itu langsung disambut LSM-LSM lokal.
Hasil kajian ICW dan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) atas posisi hukum transparansi pendapatan negara dari sektor ekstraktif cukup mengejutkan. Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009, menyatakan bahwa perbaikan tata kelola sektor migas dan pertambangan akan dilakukan melalui peningkatan transparansi dalam pengelolaan kedua sektor tersebut. Sasarannya adalah meningkatkan transparansi pengelolaan fiskal sektor migas dan pertambangan.
Langkah awal penerapan Inpres tersebut diwujudkan melalui Nota Kesepahaman antara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Departemen Keuangan dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kesepakatan bernomor MOU-01/M.Ekon/01/2009 ini ditandatangani Sri Mulyani selaku Menko Perekonomian sekaligus Menteri Keuangan dan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro tanggal 15 Januari 2009. Dokumen itu memuat rencana dibentuknya Tim Persiapan Pelaksanaan Transparansi Pendapatan Negara dari Sektor Ekstraktif.
Asisten Deputi Minyak Bumi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, M. Husen menjelaskan melalui pesan singkat kepada hukumonline (19/3), bahwa tim tersebut masih dalam proses penyelesaian. "Anggotanya dari Menko Perekonomian, DESDM, dan Depkeu."
Proses tersebut tampaknya harus dikebut. Sebab, Inpers No. 5/2009 memasang target Juni 2009 untuk diterbitkannya Peraturan Bersama Menkeu dengan Menteri ESDM dalam rangka Peningkatan Transparansi dalam Pengelolaan Migas dan Pertambangan. Pemerintah pun sudah berusaha menggandeng EITI untuk bekerjasama dalam upaya memformulasikan rencana kerja dalam peningkatan transparansi industri ekstraktif.
"So the plan would also be in line with EITI criteria and impelentation indicators," tulis Menkeu Sri Mulyani dalam surat yang dikirimkannya kepada Jonas Moberg, Head of Secretary EITI pada 31 Desember 2008.
Pergantian tampuk kepemimpinan dikhawatirkan Rodaya Laodengkowe dari PWYP Indonesia, akan mempengaruhi semangat pemerintah untuk melanjutkan rencana kerja tersebut. Firdaus lebih kritis. Dia mengkritik upaya pemerintah yang belum maksimal. "Temuan dan rekomendasi untuk perbaikan belum ada, tapi sudah sibuk kampanye," sindirnya lugas.
Firdaus menuding ketidaktransparan dan tidak akuntabelnya sektor ekstrakrif dapat dibuktikan dengan tidak efisiennya penggantian biaya oleh negara (cost recovery), skema bagi hasil (Production Sharing Contract dan Kontrak Karya) dan royalti ekstraktif yang dinilai merugikan, dan kontrak-kontrak penjualan yang di bawah nilai pasar.
Selain itu, lemahnya pengawasan terhadap hasil eksploitasi (produksi) serta penjualan, maraknya praktek "rent-seeking" dan transfer pricing, dan lemahnya posisi tawar negara jika berhadapan dengan kontraktor, juga menjadi perhatian ICW. "Tidak ada jaminan bagi keamanan energi nasional," kritik Firdaus.
Menurut peneliti PATTIRO, Maryam Abdullah, transparansi dalam pengelolaan migas dan pertambangan harus meliputi akses terhadap dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kepentingan publik. Misalnya, Kontrak Kerja Sama (KKS), Plan of Development (PoD), World Program and Budget, serta data-data yang revelan.
Bagi Maryam, keterbukaan informasi harus menjadi alat untuk mencapai terpenuhinya kepentingan para stakeholders. "KKS harus terbuka karena secara filosofi dia mengandung hal yang berhubungan dengan kepentingan khalayak," paparnya.
Sementara World Program and Budget harus dibuka agar masyarakat lokal dapat mengakses program community development dari industri. Data-data tersebut selama ini tidak bisa diakses untuk umum.
Baru Preventif
Maryam juga menambahkan, keterbatasan mengakses informasi tersebut tidak hanya dialami oleh khalayak umum. "Pemerintah Daerah tidak bisa melakukan klarifikasi atas PPh yang mereka seharusnya terima," ujarnya. Apakah sudah sesuai dengan yang seharusnya dari yang disalurkan Pusat kepada Daerah atau tidak. Begitu juga perusahaan yang tidak bisa melakukan pengecekan serupa.
Namun hingga saat ini, transparansi semacam itu masih belum jua dilirik. Jangankan menjadi jargon pemilu, dalam kerangka hukum positif pun baru sampai tahap awal dari suatu alur proses hukum. Firdaus menjelaskan, penegakan hukum pada sektor ekstraktif baru pada upaya preventif. "KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) melakukan audit pun bukan audit investigasi, masih audit kacamata kuda," katanya.
Padahal, cetus Rodaya, transparansi sektor ekstraktif akan berdampak besar pada penerimaan Negara. Menurutnya, terdapat dua persoalan yang menyebabkan transparansi sektor ekstraktif vital bagi APBN. Yaitu persoalan etis dan persoalan makro ekonomi. "Persoalan etisnya adalah agar sumber daya tetap terjaga demi anak cucu." Kata Rodaya.
Persoalan makro ekonominya adalah apabila transparansi sektor ekstraktif tidak terwujud maka fluktuasi harga BBM akan terus mempengaruhi APBN. Sebab, tidak terbuka informasi seberapa besar dana yang berputar pada sektor ekstraktif. Dengan adanya transparansi mengenai dana ini, Rodaya menganjurkan supaya dibentuk trust fund yang berasal dari penerimaan sektor ekstraktif seperti yang dilakukan di negara-negara maju. "Kedepannya harus ada trust fund," ujar Rodaya.
Trust fund yang kerap dikenal sebagai oil fund atau resource fund ini disimpan dalam rekening khusus dan hanya sebagian kecil yang masuk ke APBN. Ini akan menjaga kestabilan APBN karena fluktuasi harga BBM, sehingga tidak ikut menggelombangkan beban negara.
Firdaus mendukung saran Rodaya. Menurutnya, kalau ada resource fund maka pemasukan APBN akan besar dari pajak.