Seperti diketahui, beberapa waktu lalu permakilan masyarakat dari dua Desa yaitu Desa Tulunggagung dan Desa Kertasemaya bersama BBWS CC, dan PT Brantas Selaku pelaksana, menghadap Komisi D DPRD Indramayu, dimana masyarakat menolak adanya pelaksanaan modernisasi sungai Sindupraja, dikarenakan belum ada ganti rugi, serta adanya dokumen sertifikat kepemilikan lahan ganda.
"Konflik soal tanah pada proses proyek modernisasi sungai di Indramayu sepertinya sering terjadi, Indramayu sangat terkenal dengan daerah konflik pembebasan lahannya yang lumayan tinggi. Ini harus segera diselesaikan tuntas dan dicari akar masalahnya," ujar anggota Komisi IV DPR RI, Ono Surono ST, Senin (5/9/16).
Ono mengatakan, pihal dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus memastikan status kepemilikan lahan itu seperti apa, dan Pemerintah Daerah juga harus turun secara langsung untuk menyelesaikan terkait sengketa lahan tersebut.
Karena, lanjut Ono, jika konflik tersebut tidak segera diselesaikan, maka tidak bisa dipaksakan dalam pembangunannya, karena setiap program harus mempertimbangkan hak-hak masyarakat jika ada keterlibatannya.
"Ini menjadi PR bagi pemerintah Kabupaten Indramayu, dalam menentukan sebuah program harus clear dulu terhadap kepemilikan lahannya. Jangan sampai program itu sudah ada dananya, tapi masih ada permasalahan yang belum selesai," jelasnya.
Sementara salah satu warga dari desa Tulunggagung mengungkapkan, terdapat 19 warga yang memiliki sertifikat tanah dan menuntut untuk ganti rugi sebelum dimulainya pelaksanaan. Ia juga mengatakan, janjibyang diberikan Komisi D DPRD Indramayu hingga kini belum ditindaklanjuti.
"Sekitar 19 warga yang memiliki sertifikat tanah hak milik," beber salah satu warga yang tak mau disebut namanya.
Pengamat pertanian dari komunitas MSP Indonesia, Carkaya menjelaskan, berdasarkan undang-undang nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria, tanah hak milik sangat dilindungi oleh undang-undang, hak milik sifatnya mutlak, negara tidak bisa asal mencabut tanah hak milik begitu saja.
"Negara bisa mencabut hak milik masyarakat, dengan catatan sudah diganti rugi yang layak dan adil," jelas ketua DPP komunitas MSP Indonesia itu.
Carkaya menambahkan, program modernisasi sungai tersebut mestinya sejak awal sudah matang konsepnya oleh BBWS CC, baik secara kemanfaatannya maupun proses teknisnya, termasuk soal pembebasan lahan.
"Mestinya BBWS CC sejak menunjuk pelaksana proyek, sudah jelas dan terarah. Adanya konflik tersebut, itu menunjukkan ada sesuatu yang salah, entah soal keterbukaan atau memang sengaja mencari keuntungan lebih, itu kan bisa saja," pungkasnya.