"Presiden harus tahu, kebijakan Menkeu dan Men-KKP bertabrakan. Apalagi pajak tersebut menjadi salah satu komponen pendapatan negara untuk digunakan membangun infrastruktur perikanan yang faktanya belum diurus maksimal oleh KKP. Bila dikatakan pajak dari sektor perikanan sangat rendah maka sudah saatnya permasalahannya itu di buka sejelas-jelasnya. Apa yang menyebabkan sektor pajak perikanan sangat rendah? Apakah masih ada pelaku usaha perikanan yang belum punya NPWP?" ungkap Ketua umum MPN, Ono Surono, Kamis (27/10/16).
Ia memaparkan, sekitar 11% Dari 252 Juta penduduk Indonesia, baru sekitar 27 Juta penduduk yang sudah mempunyai NPWP. Sehingga masalah NPWP ini bukan masalah di sektor perikanan saja tetapi hampir di seluruh sektor usaha. Apalagi rumah tangga perikanan yang jumlahnya hanya 0,3 % dari jumlah penduduk Indonesia sehingga menjadi bagian yang kecil dibanding dengan jumlah total penduduk Indonesia.
"Kemiskinan rumah tangga perikanan pun masih menempati posisi yang tertinggi karena 97% Perikanan Tangkap masih didominasi nelayan kecil. Pembudidaya Ikan dan petambak garam pun bernasib sama. Nilai Tukar Pembudidaya Ikan (NTPI) tahun 2015 rata-rata berada di angka 99 poin, sehingga dapat dikatakan pembudidaya Ikan tersebut merugi," jelas Ono.
Menurutnya, banyak permasalahan pada petambak garam, produksi yang menumpuk tidak terjual karena industri belum mampu menyerap maksimal dengan alasan kualitas, apalagi impor garam dilakukan secara besar-besaran seperti tidak terkendali.
Ono juga mengungkapkan kebijakan KKP yang cenderung mematikan dunia usaha perikanan dan menambah penganguran, seperti pada kebijakan moratorium Kapal yang mengakibatkan 1.132 Kapal tidak beroperasi dan 35 ribu nelayan mengganggur, kebikajan pelarangan penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan yang mengakibatkan penurunan pendapatan nelayan.
"Di Kabupaten Tabanan, Bali saja produksi Lobster mencapai 1,2 Milyar per-bulan tetapi setelah ada kebijakan pelarangan hanya 80 juta per-bulan," papar Ono.
Bukan hanya itu, Ono juga mengungkapkan untuk ekspor Ikan Kerapu hidup hasil budidaya pun sama mengalami penurunan. Hal itu akibat dibatasinya akses kapal buyers dari HongKong, yang semula diperbolehkan bebas berbelanja ke 36 kawasan budidaya menjadi hanya 12 titik saja, sehingga mengakibatkan ekspor merosot drastis dari yang semula bisa menjual 4500 Ton per Tahun menjadi hanya 900 Ton saja per tahun.
"Sehingga negara kehilangan devisa sebesar US$ 54 juta per tahun dan 100.000 kepala keluarga pembudidaya kehilangan penghasilan, termasuk 75% UMKM budidaya ikan Kerapu yang seperti sengaja dimatikan," jelasnya.
Perpanjangan Perizinan
Selain itu, Ono juga menyoroti kebijakan KKP soal lamanya perpanjangan perizinan, untuk Kapal 30 GT ke atas bisa mencapai 3-9 bulan, dari yang sebelumnya cuma 14 hari selesai. Hal ini menurutnya juga menjadi faktor kerugian nelayan yang sangat besar, apalagi nelayan harus membayar PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) melalui Pungutan Hasil Perikanan (PHP) sebelum ijin diterbitkan, berbeda dengan sektor Migas, Minerba, Perkebunan dan lain-lain, yang notabene PNBP-nya dipungut saat ekspor.
"Sebenarnya, langkah Menteri Keuangan sebelumnya juga sudah membuat jenis pajak baru pada sektor perikanan, yaitu Pajak Bumi Bangunan (PBB) Laut yang dipungut per Kapal Perikanan walau masih belum kepada seluruh kapal perikanan, tetapi kapal dengan ukuran 30 GT ke atas namun sudah berjalan 1 tahun yang lalu.
"PBB laut juga dipungut dari para pembudidaya ikan laut, udang dan lain-lain. sejak tahun 2003 yang besarnya didasarkan pada target penghasilan bukan pada realisasi penghasilan. Padahal sejatinya objek pajak PBB adalah atas nilai property bukan atas besarnya penghasilan. Kapal bukanlah properti namun sarana usaha nelayan yang bukan objek pajak PBB. Dengan demikian PBB laut adalah ilegal karena memungut pajak bukan dari objek pajaknya," jelas Ono.
Sehingga, pihak MPN berharap agar Menteri Keuangan, Sri Mulyani, bisa melakukan pendalaman terhadap wajib pajak dan calon wajib pajak pada sektor perikanan dengan upaya untuk peningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, sekaligus bisa menjadi entry point untuk mengurai masalah usaha pada sektor perikanan yang bisa menjadi rekomendasi kepada Presiden untuk menerbitkan paket kebijakan ekonomi di sektor perikanan.
"Bisa saja Menteri Keuangan menginisiasi selain tarif 0% pajak ekspor ikan, juga pemberian insentif bagi industri yang melakukan ekspor ikan dan industri perikanan padat karya," katanya.
"Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) sangat mendukung langkah dan upaya Ibu Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Pajak pada sektor perikanan akan naik bila Industri perikanan dari hulu sampai hilir dipulihkan dan dilakukan evaluasi terhadap kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang harus Pro terhadap dunia usaha," pungkas Ono.