Jakarta - Konferensi pers Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengungkapkan, terkiat dengan kasus e-KTP akan ada tersangka baru terkait kasus tindak pidana korupsi proyek pengadaan KTP Elektronik (a-KTP) setelah dilakukannya gelar perkara.
Tegas Agus, "Kerugian negara akibat perbuatan ini Rp2,3 triliun bukan hanya dua orang yang bertanggung jawab, sebentar lagi mungkin ada gelar perkara, (akan) ada nambah orang (tersangka baru),” kata Agus di gedung KPK, Jakarta, Senin (13/3/2017). Seperti yang dirilis Hukumonline.
Namun, Agus belum bisa memastikan kapan pengumuman tersangka baru tersebut. “Belum tahu kapan, gelar perkaranya belum ada,” kata Agus.
Ketika Ditanya soal KPK pembuktian dakwaan kasus e-KTP yang melibatkan banyak pihak itu, Agus menyatakan bahwa ikuti saja proses di persidangannya. “Ya nanti ikuti saja proses pengadilan. KPK kan informasinya banyak sekali, kami periksa 274 saksi dan kami bekerja sama dengan banyak lembaga seperti PPATK, termasuk beberapa instansi penegak hukum di luar negeri,” pungkas Agus.
Sebelumnya, KPK dijadwalkan menghadirkan delapan saksi dalam sidang kedua dalam kasus tindak pidana korupsi pengadaan paket e-KTP tahun anggaran 2011-2013 dengan terdakwa mantan pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto.
Dalam persidangan pertama terungkap ada puluhan anggota DPR periode 2009-2014, pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), staf Kemendagri, auditor BPK, Partai, swasta, hingga korporasi yang menikmati aliran dana proyek e-KTP tersebut. Pemeriksaan saksi nantinya juga untuk membuktikan imbalan yang diperoleh dari pihak-pihak yang disebut dalam dakwaan tersebut, sehingga merugikan negara sebesar 2,314 triliun.
Misalnya, kesepakatan pembagian anggaran total anggaran proyek e-KTP sebesar Rp5,9 triliun. Rinciannya, 1. 51 persen atau sejumlah Rp2,662 triliun dipergunakan untuk belanja modal atau riil pembiayaan proyek 2. Rp2,558 triliun akan dibagi-bagikan kepada:
Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal tersebut mengatur orang yang secara melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.