Ada berbagai konvensi internasional yang menyinggung masalah kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan air, misalnya Konvensi tentang Hak Anak (Convention on The Rights of the Child) pada artikel 24 yang menyebutkan hak asasi manusia atas air.
Negara anggota PBB juga berkomitmen pada salah satu dari 12 Tujuan Pembangunan Millenium atau MDGs (Millenium Development Goals) yaitu untuk menyediakan akses air bersih dan sanitasi yang memadai bagi masyarakat yang saat ini belum bisa menikmatinya.
Sedangkan konstitusi nasional tentang air seperti Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan peraturan pemerintah turunannya.
Persoalannya adalah apakah pemerintah sudah menyediakan air secara memadai untuk kehidupan mendasar warga negaranya terutama masyarakat miskin?
Staf Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Mimin Dwi Hartono dalam tulisannya di sebuah media massa nasional mengatakan ada tiga faktor untuk mengukur terpenuhinya hak asasi manusia atas air yaitu ketersediaan, kualitas dan keterjangkauan atau aksesibilitas.
Ketersediaan adalah jumlah air yang mencukupi kebutuhan minimal untuk hidup keseharian baik sendiri maupun dengan keluarga. Sedangkan kualitas adalah mutu air yang dikonsumsi harus sehat dan layak, khususnya bagi anak-anak dan perempuan.
Keterjangkauan adalah air yang bisa dijangkau oleh setiap orang tanpa terkecuali, baik dari sisi fisik yaitu air yang higenis atau menyehatkan, sisi ekonomis yaitu harga yang terjangkau bahkan bila dimungkinkan gratis. Sisi nondiskriminasi yaitu tidak boleh ada pembedaan terhadap siapa pun dalam mengakses air, dan sisi informasi, yaitu ketersediaan informasi yang memadai tentang air.
Dalam Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report) 2006 dari Program Pembangunan PBB (UNDP), sekitar 2,6 miliar orang masih mengalami kekurangan akses atas sanitasi air yang bersih dan memadai dan dua juta anak-anak meninggal setiap tahun akibat kekurangan air yang bersih dan sehat. Serta satu miliar orang masih mengalami kekurangan atas akses terhadap air yang bersih dan layak.
UNDP menyatakan kurangnya akses atas air yang bersih dan layak bukan disebabkan oleh kelangkaan air atau jumlah air yang semakin menurun. Tetapi oleh karena kemiskinan yang akut, kesenjangan kondisi sosial ekonomi, dan kegagalan kebijakan pemerintah.
Juru Kampanye Air dan Pangan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) nasional, Erwin Rusman mengatakan air dikomersialkan sebagai komoditas kebutuhan hidup yang tidak berpihak kepada rakyat miskin sejak diberlakukannya UU Sumberdaya Air.
Hal itu terlihat dari perusahaan-perusahaan penyedia air seperti PAM (perusahaan air minum) dan perusahaan air kemasan baik nasional, yang dimiliki oleh perusahaan pemodal asing sampai perusahaan lokal yang tidak berpihak pada warga miskin karena makin mahal.
"Pada 2005, Walhi bersama dengan masyarakat meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU Sumberdaya Air karena disinyalir adanya kepentingan dari Bank Dunia dan perusahaan pemodal asing untuk melakukan privatisasi air di Indonesia," kata Rusman.
Advokat dari LSM Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), Tubagus Haryo Karbyanto mengatakan privatisasi di bidang pengelolaan air minum tidak meningkatkan kualitas dari air minum yang dihasilkan sehingga perlu dipikirkan sistem yang lebih baik.
"Usaha swasta yang mengelola air akan selalu 'profit-oriented' karena merupakan karakteristik yang tidak dapat dilepaskan bahwa sebagai bentuk usaha yang harus mengusahakan keuntungan yang optimal bagi para pemegang saham," kata Tubagus.
Dia mengatakan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) harus diposisikan sebagai unit operasional negara dalam merealisasikan kewajiban negara sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air.
Selain diprivatisasi oleh pemodal, ketersediaan air bagi hidup masyarakat juga makin sangat berkurang karena rusaknya lingkungan seperti perusakan hutan baik oleh pengambilan hasil hutan secara legal dan ilegal maupun rusaknya 318 DAS di seluruh Indonesia.
Walhi mencatat ada 63 dari 318 DAS tersebut yang dalam kondisi rusak parah termasuk 14 DAS penting di seluruh Indonesia.
Rusman mengatakan pada kurun waktu 2001 - 2007, pemerintah menganggarkan satu miliar dolar AS bagi Departemen Kehutanan (Dephut) sebagai ujung tombak institusi negara untuk memperbaiki kondisi DAS (daerah aliran sungai) tersebut.
"Penelitian Walhi pada 2008 melihat 63 DAS tersebut tetap rusak, terutama DAS di Jawa. 14 DAS penting itu belum juga beranjak dari super kritis," katanya.