Pria itu bernama Sudjaan Hasibuan. Ia seorang advokat. Meski hampir seluruh rambutnya berwarna putih, ia tetap lantang membacakan lembaran kertas yang ada di tangannya. Sekitar lima belas pasang mata di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta selatan tertuju kepadanya.
Hari itu, Jumat (20/3), Sudjaan membacakan berkas replik dalam sidang permohonan praperadilan Bagindo Quirinno terhadap KPK. Sudjaan menjadi kuasa hukum Bagindo.
Bagindo Quirinno adalah mantan auditor BPK yang telah ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi penyalahgunaan anggaran Depnakertrans. Ia diduga telah menerima uang sejumlah Rp650 juta dari pejabat Depnakertrans. Melalui kuasa hukumnya, Bagindo mengajukan praperadilan untuk mempermasalahkan proses penahanan yang dilakukan KPK.
Seperti diberitakan sebelumnya, Bagindo dan kuasa hukumnya menilai penahanan yang dilakukan KPK tidak sah secara hukum. Pasalnya, KPK dianggap tak memiliki bukti awal yang kuat untuk melakukan penahanan.
Sikap kuasa hukum Bagindo terhadap penahanan KPK kembali ditegaskan pada saat pembacaan berkas replik. "Kami memohon agar hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan surat perintah penahanan terhadap pemohon dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan KUHAP," Sudjaan menyimpulkan.
Pernyataan Sudjaan itu bukannya tanpa alasan. Menurut dia, surat perintah penahanan yang diterbitkan KPK tak merinci secara jelas mengenai tindak pidana yang disangkakan kepada kliennya. "Hanya disebutkan ‘sejumlah uang' tanpa diuraikan berapa besarnya, kapan penerimaan uang itu, siapa dan dimana penyerahan uang itu dilakukan."
Tak cukup dengan itu, Sudjaan kembali mempreteli surat perintah penahanan KPK. "Disebutkan bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penahanan adalah keterangan saksi dan bukti surat. Tapi lagi-lagi tak disebutkan siapa saksi itu? Apa bentuk suratnya?" Atas dasar itu, Sudjaan menilai penahanan terhadap Bagindo adalah tindakan yang prematur dan subyektif.
Ditemui usai persidangan, Rooseno Hadjowidigdo, kuasa hukum KPK membantah semua pernyataan Sudjaan. "Surat perintah penahanan tak perlu menyebutkan secara rinci tindak pidana yang disangkakan. Cukup dengan menyebutkan tersangka ditahan dalam kasus apa, pasal apa yang diduga dilanggar," kata Rooseno yang juga koordinator biro hukum KPK itu.
Rooseno juga menampik tudingan Sudjaan yang menyatakan KPK tak memiliki bukti permulaan yang kuat untuk melakukan penahanan. "Bukti permulaan itu ada di tangan penyidik, tak perlu disebutkan dalam surat perintah penahanan."
Tak perlu
Pakar Hukum Acara Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chaerul Huda menjelaskan bahwa KUHAP secara tegas mengatur mengenai syarat-syarat penahanan. Secara obyektif, penahanan bisa dilakukan jika tersangka melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya minimal 5 tahun penjara. Selain itu, harus ada bukti awal yang cukup untuk melakukan penahanan. "Kalau dilakukan tanpa syarat itu, penahanan menjadi tidak sah secara hukum," kata Huda, lewat telepon, Jumat (20/3).
Penahanan, kata Huda, dilakukan dengan surat perintah penahanan. "Surat perintah itu harus menyebutkan sedikitnya tentang uraian singkat tindak pidana yang dituduhkan. Selain itu juga harus disebutkan di mana si tersangka itu ditahan." Penjelasan Huda ini sejalan dengan rumusan Pasal 21 Ayat (2) KUHAP.
Meski harus menguraikan secara singkat, lanjut Huda, tak ada kewajiban bagi penyidik untuk menyebutkan secara detil mengenai bagaimana tindak pidana dilakukan oleh tersangka. "Kalau dalam perkara penyuapan, tak perlu disebutkan besarnya berapa? Diberikan secara tunai atau bagaimana?"