Polemik yang terjadi seputar dugaan tindak pidana Pemilu pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur (Jatim) menyisakan sanksi kode etik profesi untuk mantan Kapolda Jatim Timur Herman Surjadi Sumawiredja. Mengingat statusnya yang masih sebagai anggota Polri, perbuatan Herman membeberkan penjelasan di luar otoritasnya kepada publik tetap dikategorikan sebagai pelanggaran.
Untuk itu, Kapolri Bambang Hendarso Danuri (BHD) memberikan teguran kepada Herman. Bukan hanya teguran, BHD juga mengaku pihaknya akan mendalami sejauh mana pelanggaran kode etik profesi yang dilakukan jenderal bintang dua ini. "Tadi pagi (20/3) kita undang yang bersangkutan dan kita minta klarifikasi dengan apa yang dilakukannya. Ini nanti kita dalami sampai seberapa jauh pelanggaran kode etik profesi".
Tentunya, Polri akan mengambil langkah-langkah antisipatif guna mencegah peristiwa seperti Herman agar tidak terjadi lagi di kemudian hari. "Langkah-langkah akan diambil Polri untuk menghindari pada waktu-waktu yang akan datang ada anggota-anggota Polri secara orang-perorangan, masuk atau memberikan penjelasan-penjelasan di luar otoritas yang jadi ketentuan-ketentuan yang sudah digarisbawahi di jajaran Polri," ujar Kapolri.
Herman tinggal menunggu sanksi etika profesi apa yang akan diganjarkan padanya. Yang jelas, atas teguran Kapolri ini, Herman mengaku sudah menerima dengan lapang dada. "Saya menerima teguran itu dari Kapolri dengan lapang dada. Ya, ditegur memberitakan ini di luar ini, di luar prosedur, ya saya menerima itu juga, saya salah," ungkapnya.
Lagipula, Herman menerima teguran itu karena status abdi Polri yang masih melekat pada dirinya. "Dan karena saya belum menerima SKEP (Surat Keputusan) pensiun itu. Jadi, belum betul-betul saya sebagai orang sipil, tetapi itu penilaian dan tindakan dari pimpinan, saya akan terima. Dan itu sudah ada prosedur-prosedur tertentu".
Sampai saat ini, surat keputusan itu belum juga diterima Herman. Dan ketika diklarifikasi, BHD mengatakan surat pengunduran diri Herman sedang diproses. Tapi, sekali lagi mutasi Herman menurut mantan Kabareskrim Mabes Polri ini tidak ada hubungannya dengan Pilkada Jatim. Walau pergantian Kapolda adalah hak preogatif Kapolri, "tapi itu atas dasar berbagai pertimbangan".
Tanggapan Purnawirawan
Walau sudah tidak lagi menjabat sebagai Kapolda Jatim, Herman tetap yakin dugaan tindak pidana Pemilu tetap dapat berlanjut ke penyidikan. "Saya sudah mendapatkan juga pengarahan, penjelasan, dari beliau (Kapolri) dengan masalah yang di Jawa Timur ini. Itu akan disempurnakan, dilanjutkan, dan akan meminta kelengkapan lagi dari Panwas".
Selain penjelasan dari Kapolri, sejak awal jajarannya (ketika itu) melakukan penyelidikan, Herman berkeyakinan hasil penyelidikan kasus Pilkada Jatim ini layak dinaikkan ke tingkat penyidikan. Pihaknya sudah mengantongi dokumen yang disertakan Panwaslu Jatim ketika membuat laporan, walau hanya kopian. "Itu sudah dikroscek dengan DPT yang asli dengan yang 368 itu. Belum dapat DPT yang asli, itu statusnya masih pinjaman". "Tapi, itu tinggal diminta diserahkan kok. Jadi, sebenarnya barang bukti itu sudah siap," imbuhnya.
Karena ketika melakukan kroscek, penyidik merasa ada dugaan kuat terjadinya pelanggaran yang tertera dalam Pasal 115 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah itu, maka diterbitkanlah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). "Dari hasil kroscek itu ada dugaan itu, makanya dikeluarkan SPDP itu".
Dan dalam syarat formal SPDP, kata Herman, tersangka itu harus disebutkan walau statusnya nanti akan berubah. Entah itu menjadi saksi, atau yang lainnya. "Waktu itu, adalah syarat formal menyebutkan tersangka di dalam daftar SPDP tersebut. Tapi, itu bisa saja nanti dia mungkin juga tidak, bisa juga nanti berubah menjadi saksi dan lain-lain".
Tindakan Herman ini mengundang kritik dari para purnawirawan Polri yang menamakan dirinya Pengamat Kepolisian dan Penegakan Hukum. Salah satunya Alfons Loemau. Ditemui terpisah, Alfons mengatakan penetapan tersangka tidak boleh berdasarkan asumsi. Pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, pembuktian perkara yang di dalam istilah kepolisian dikenal sebagai Scientific Crime Investigation, mengacu pada berbagai alat bukti. "Harus ada minimal dua alat bukti (untuk penetapan tersangka) dan harus berdasarkan fakta-fakta". Kalau sampai berandai-andai seperti itu, kata Alfons, berarti penyidik telah tidak profesional.
Jadi, dalam transisi tahap penyelidikan ke tahap penyidikan, dibutuhkan suatu professional judgement dari penyidik setelah melewati tahapan pengumpulan data, informasi, analisis, dan evaluasi. Apabila ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka tahapan penyelidikan baru dapat ditingkatkan menjadi tahap penyidikan. Apabila, bukti tersebut belum ada, menjadi suatu pertanyaan besar, "mengapa harus dipaksakan SPDP? Tapi, saya tidak mau masuk ke wilayah ini," tukas Alfons.