"Saat ini Indonesia sedang dijajah oleh bangsa asing dalam mengelola laut dan perikanannya. Neoliberalisme sedang merasuk dalam sendi-sendi pemikiran rakyat Indonesia melalui doktrin-doktrin yang dibangun oleh seseorang yang saat ini sedang merasakan popularitas di dunia disaat nelayan Indonesia merasa didzalimi. Nelayan Indonesia saat ini dilarang operasi, dipenjara, dipersulit izinnya bahkan dibuka kran impor bahan baku ikan untuk memenuhi industri pengolahan karena ikan tangkapan nelayan Indonesia tidak mencukupi." ungkap Ketua Umum Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), Ono Surono, Sabtu (13/5/17).
Ono Menjelaskan, adanya pengaruh asing dibuktikan dengan adanya hubungan antara pelestarian Laut Perikanan dengan System Neoliberal. Muncul sebuah gerakan yang dinamakan "Sustainable Seafood Movement" pada tahun 1990-an sebagai respon minimnya kesuksesan kelestarian lingkungan melalui tekanan terhadap pemerintah dan kondisi politik dan ekonomi ke arah yang lebih ramah lingkungan.
"Gerakan ini dimotori oleh US Environmental Movement Organization atau EMOs yg mempunyai fokus pada sistem pasar dalam mencapai tujuannya. Strategi utama yang diambil adalah dengan berupaya mengubah permintaan pasar terhadap komoditas yang lebih sustainable (berkelanjutan). Sehingga memaksa nelayan dan pengusaha menerapkan praktik-praktik yang ramah lingkungan sehingga dapat mengurangi kerusakan lingkungan," jelas Ono.
Sehingga menurut Ono, politik globalisasi neoliberal dalam membangun hegemoninya melalui lima langkah, yakni pertama, adanya intervensi kebijakan; kedua, standarisasi dan labelisasi perdagangan produk hasil laut; ketiga, adanya dominasi dan penguasaan melalui organisasi internasional maupun regional; keempat, intervensi melalui hukum-hukum laut Internasional yang diusung melalui isu-isu lingkungan sehingga melahirkan model pengelolaan laut secara global; dan kelima, pencabutan subsidi perikanan.
Oleh karenanya, Ono menegaskan Indonesia yang saat ini sedang mengupayakan tujuan sebagai poros maritim dunia, hendaknya meneguhkan kembali jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa pelaut.
"Ya Bangsa Pelaut dalam arti yang seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawala samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga. Bangsa pelaut yang mempunyai armada militer. Bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri, seperti yang pernah disampaikan Bung Karno." kata Ono yang juga sebagai anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PDI Perjuangan.
Ono menambahkan, pemerintahan era Jokowi sudah ada niat suci dan luhur untuk mengembalikan Bangsa Indonesia kembali pada kejayaan Majapahit, kejayaan Bangsa Pelaut, yakni menjadi Poros bagi negara lain dalam membangun lautnya.
"Indonesia berbeda dengan USA dan Tiongkok. Indonesia berbeda dengan Inggris, Prancis, Norwegia, Australia, Russia bahkan berbeda dengan Jepang walau sama-sama dari kultur ketimuran. Sehingga, dalam meletakkan dasar atau pola pembangunan nasional, Indonesia harus merumuskan dan menetapkan Pola Pembangunan yang sejati-jatinya berdasar pada Pancasila dan menggunakan jalan Trisakti yaitu Membangun tanpa menyakiti dan tidak diintervensi bangsa lain," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menerima penghargaan maritim tertinggi dunia yakni Peter Benchley Ocean Awards atas visi dan kebijakan pembangunan ekonomi dan konservasi laut di Indonesia. Terutama karena melarang alat tangkap pukat tarik dan hela serta pemberantasan Illegal Fishing. Penghargaan diterima Susi pada Kamis malam 11 Mei 2017 di Smithsonian, Washington DC, USA.