"Polemik Cantrang yang terjadi saat ini salah satu akibat dari ketidakkonsistenan peraturan yang berdampak sangat besar pada nelayan kecil bukan nelayan besar," ujarnya kepada cuplikcom, Minggu (14/5/17).
Ia menjelaskan, kebijakan soal Cantrang dan kebijakan lainnya yang menyulitkan nelayan, seolah-olah ada upaya dari kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk tetap memiskinkan nelayan Indonesia, yakni melalui kebijakan yang dibungkus rapih atas nama lingkungan dan masa depan ikan.
"Apapun alat tangkap yang digunakan di Perairan Indonesia baik alat tangkap aktif atau pun pasif pasti akan menjadi tidak ramah lingkungan jika dalam penggunaannya tidak diatur atau dikendalikan. Potensi wilayah Indonesia yang 75%-nya adalah lautan dengan jenis ikan sebanyak 37% dari jenis ikan yang ada di dunia, pantai terpanjang kedua setelah Kanada, dan lain-lain. Rasanya sangat ironis jika nelayannya tidak sejahtera dengan ikan yang berlimpah," paparnya.
Ia juga menegaskan, kapal dibawah 30 GT yang terdampak akibat Permen 2/2015 yang sering diberitakan sesungguhnya tidak terdampak. Misalnya, lanjutnya, untuk di Indramayu kapal Cantrang yang ukurannya di atas 30 GT hanya 58 buah dan yang di bawah 30 GT tepatnya 10 GT berjumlah 2.442 buah, sedangkan di Kab. Brebes kapal Cantrang yang diatas 30 GT hanya 20 kapal dan yang dibawah 10 GT sebanyak 628 kapal.
"Nelayan inilah yang ditangkap polisi air karena tidak memenuhi persyaratan melaut karena tidak ada peraturan yang kuat untuk memperbolehkan mereka melaut pasca Permen 2/2015," jelasnya.
Selain itu, kata dia, masalah perijinan hingga hari ini masih menjadi polemik. Pasalnya banyaknya ijin dan biaya besar dalam pengurusannya membuat nelayan sangat kesulitan, belum lagi soal lamanya waktu yang tak sesuai seperti yang dijanjikan, sehingga para nelayan terpaksa tidak melaut, bahkan sampai berbulan-bulan.
Oleh karenanya, ia mengingatkan, dalam membuat kebijakan pengelolaan perikanan perlu memperhatikan, pertama, ukuran upaya penangkapan yang digunakan misalnya GT kapal yang digunakan; kedua, mengatur wilayah penangkapan untuk kapal diatas dan dibawah 30 GT; ketiga, menentukan alat tangkap berdasarkan karakteristik perairan dan spesies yang menjadi target penangkapan; dan keempat, biaya penangkapan dan harga ikan yang ditangkap.
"Permasalahan dalam pengelolaan perikanan sangat kompleks sehingga dalam membuat kebijakan tidak bisa dilihat secara parsial apalagi hanya memperhatikan kesejahteraan ikan tanpa memperhatikan kesejahteraan nelayannya. Karena sifat multispesies maka yang tertangkap adalah beberapa spesies ikan dan tdk ada ikan yang dibuat dengan menciptakan pasar dari ikan hasil tangkapan non target tersebut," pungkasnya.