Lupakan saja mencari pekerjaan yang pantas. Sejak resesi melanda dan mencekik, hal itu tak ada lagi di dalam kamus mereka. Satu-satunya pilihan termudah untuk mendapatkan uang dengan cepat, yakni menjadi ‘penari' di klub-klub malam. Seperti yang kini marak terjadi di Amerika Serikat.
Sulitnya mencari pekerjaan akhirnya membuat kaum perempuan di negara adidaya itu ramai-ramai beralih profesi dan berani menanggalkan baju mereka. Tak hanya berdansa dan melenggak seksi, mereka juga tampil di media lainnya. Seperti di film atau berpose seronok untuk majalah yang mewajibkan mereka untuk menanggalkan pakaian.
Para pelaku usaha yang mengandalkan nafsu syahwat itupun melihat lonjakan pekerja yang tertarik dengan jadwal fleksibel dan uang cepat. Sayangnya, kebanyakan dari mereka adalah sarjana atau mantan pekerja kantoran yang di-PHK.
"Anda melihat banyak perempuan cantik yang ternyata bisa melakukan banyak hal," ujar General Manajer Klub pria Sin City di New York, Gus Poulos. Menurutnya, hanya untuk satu posisi saja pelamarnya bisa mencapai 85 orang.
Diakui Poulos, ada beberapa kesulitan mempelajari ‘tuntutan' profesi baru itu. Misalnya berdansa dengan hak sepatu setinggi 7 cm atau menghadapi mata nakal dan komentar mesum penontonnya. Beberapa penari baru ini bahkan membutuhkan alkohol untuk meredakan ketegangan.
Upah yang diterima untuk bekerja di kabaret ini terbilang lumayan. Seorang perempuan bisa mendapatkan US$ 100-300 ribu (Rp 1,1-3,5 miliar) tunai per tahun. Jumlah itu cukup menggiurkan bagi pekerja kantoran yang biasanya tak pernah melebihi sepersepuluh jumlah itu.
Akibatnya, bisnis yang haram bagi sebagian orang ini laris manis di Amerika. Sejumlah klub pun terus membuka lowongan pekerjaan bagi siapapun yang mau topless serta mendapat uang cepat dan banyak. Bahkan, sebuah klub telanjang Foxy Lady di Kota Providence nekat mengadakan bursa kerja akhir pekan lalu.
Klub di Rhode Island, AS itu membutuhkan sekitar 30 tenaga baru dengan berbagai posisi yang bervariasi. Mulai dari penari telanjang, ‘pelayan', hingga DJ dan bartender. Mereka akan dipekerjakan di klub itu dan dua klub telanjang lain di Massachusetts.
"Saya membutuhkan manajer lagi. Juga staf lebih kompeten dan waitress atraktif," tutur pemilik Foxy Lady, Tom Tsoumas. Sementara sang Manajer Bob Travisono, mengatakan klubnya bukan kebal krisis meski masih saja menarik bagi pengunjung untuk minum dan menari, melupakan kepedihan akibat resesi ekonomi.
Meski pelamar membludak, lain halnya dengan industri itu sendiri. Sejumlah klub malam, seperti yang terdapat di ibukota Jerman, Berlin, malah mengalami kesulitan karena terimbas krisis ekonomi.
Seperti klub malam dewasa ‘Pussy Club' yang mengaku harus menurunkan harga layanan mereka. Klub itu bahkan berinisiatif meminta paket stimulus untuk bisnis yang dilegalkan Jerman tujuh tahun lalu itu.
Klub lainnya, ‘Belle Escort', mengaku tak pernah menghadapi masalah apapaun sebelumnya. Namun krisis kali ini benar-benar memukul mereka. "Sepertinya pengunjung kami turun 20% sejak krisis ini melanda. Kami dalam kesulitan," ujar sang pemilik, Isabelle, yang menolak memberikan nama lengkapnya.
Sejak 2001, Jerman melegalkan prostitusi sebagai sebuah industri. Aktivitas itu langsung menyebar ke pelosok negeri, terutama di kota besar seperti Berlin, Munich, dan Hamburg.
Tentu saja, faktor terpenting dalam industri ini adalah perempuan. Masih banyak yang ingin berporfesi sebagai pelacur sebab tergiur oleh dana yang cepat mengalir dari bisnis itu.
Meski demikian, permintaan untuk industri berbasis seks ini akan selalu ada. Tak sulit memulainya, bahkan seseorang bisa memulainya sendiri tanpa bantuan ‘agensi' apapun dan tanpa perlu ‘mendaftarkan' usaha mereka secara legal.