Pertama, menurut Ono, banyak kalangan masyarakat Indonesia senyatanya tidak mengerti kondisi nelayan di Indonesia termasuk salah satu Ketua Umum dari organisasi nelayan terbesar di Indonesia yang mengatakan bahwa aksi unjuk rasa nelayan dilakukan oleh pengusaha-pengusaha perikanan yang takut keuntungannya menurun jika penggunaan Cantrang dilarang.
"Perlu diketahui bahwa Kapal perikanan di Pantura Jawa termasuk Cantrang, Payang dan Dogol di hampir di seluruh negeri ini, dikelola bersama antara pemilik atau juragan dan nahkoda atau ABK. Hubungan antara Juragan dan ABK yang mengelola bersama itu diiiringi dengan pola bagi hasil atas produksi ikannya, pembagian antara 60 banding 40 atau 50 banding 50," ujar Ono Surono dalam rilis yang diterima cuplikcom, Rabu (12/7/17).
Hal itu diungkapkannya berdasarkan pada UU No.7/2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam disebutkan bahwa ABK atau nelayan pekerja adalah nelayan kecil yang harus dilindungi oleh negara.
"Sehingga bila dianggap gerakan unjuk rasa nelayan karena ulah juragan kapal, maka itu salah besar! Gerakan unjuk rasa itu murni dari Masyarakat Nelayan yang merasa terdzalimi, dan diperlakukan tidak adil oleh negara terutama oleh Menteri Kelautan dan Perikanan," tegas Ono yang juga menjadi ketua umum Induk Koperasi Perikanan Indonesia (IKPI).
Kedua, lanjut Ono, dialog yang sering dilakukan antara KKP dengan nelayan Cantrang atau Dogol atau Payang, disampaikan oleh Menteri KP merupakan pertemuan monolog atau satu arah dengan pola KKP selalu paksakan kebijakannya tanpa mempertimbangkan aspirasi atau masukan dari nelayan apalagi didasari oleh kajian-kajian yang menyangkut ekologi, ekonomi, sosial dan budaya.
"Sehingga walau dikatakan dialog sudah dilakukan tetapi hasilnya nol besar. Hal itu terbukti Nelayan Cantrang/Dogol/Payang masih melalukan aksi unjuk rasa menolak kebijakan pelarangan cantrang/dogol/payang," jelas mantan ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Indramayu dan Jawa Barat ini.
Ketiga, Ono memaparkan bahwa nelayan Cantrang/Dogol/Payang yang dikatakan telah dan akan mendapatkan bantuan alat tangkap pengganti, senyatanya baru direalisasi kurang dari 20 persen dan nelayan sampai saat ini pun masih banyak yang belum menggunakan karena faktor kurangnya jumlah bantuan per-paketnya dan jenis atau spesifikasi yang tidak sesuai dengan keinginan nelayan. Sehingga dapat dikatakan program penggantian alat tangkap itu gagal total.
Keempat, Ono menegaskan mendukung rencana presiden Jokowi untuk segera menginstruksikan Menteri KP untuk mengeluarkan regulasi penundaan pelarangan cantrang/dogol/payang sampai Desember 2019 sekaligus membuat kajian ekologi, ekonomi, sosial dan budaya terkait penggunaan cantrang/dogol/payang oleh tim kajian yang melibatkan seluruh unsur, yakni pemerintah, akademisi, dan nelayan.
"Menyiapkan skema pembiayaan penggantian alat tangkap 100 persen dari APBN untuk nelayan 10 GT ke bawah dan perintahkan perbankan BUMN untuk membiayai pergantian alat tangkap kepada nelayan 10 GT ke atas, serta mengatur wilayah dan jumlah alat tangkap cantrang/dogol/payang pada masa penundaan sampai Desember 2019," terang Ono.
Kelima, Ono juga mendukung rencana Presiden Jokowi untuk menghentikan segala jenis kriminalisasi kepada nelayan.
"Terutama kepada nelayan-nelayan kecil yang saat ini sedang menjalani hukuman dipenjara akibat regulasi yang dibuat oleh Menteri Kelautan dan Perikanan," pungkasnya.