Ilustrasi. (foto: ist (kompasiana))
Cuplikcom - Di tengah semilir angin malam yang cukup sejuk di kota Bandung, saya ayunkan langkah menelusuri pasar tradisional Ciroyom.
Saat jajan kupat tahu di pinggir jalan, ada pertanyaan anak kecil pada seorang ibu renta yang terus terngiang di telinga saya dan bisa menjadi pelajaran kita semua.
Pertanyaan tersebut adalah, “Bu, sampai kapan kita bisa bertahan ?”.
Saat ku lirik ke belakang, ternyata pertanyaan seorang bocah sekitar umur 4 tahunan yang sedang terbaring di pangkuan ibunya. Seperti disambar halilintar, hati kecil ini terhenyak.
Lalu ku tanya anak kecil ini,
“ Ade kenapa, udah makan belum ? Kalau mau makan sini makan kupat saja biar nanti om yang bayar”.
Anak kecil itu menjawab,
“Mau om, tapi sayang om nya gak pakai sepatu ?”.
“Lho apa hubungannya sepatu dengan kupat tahu, de ?”, tanyaku.
“Kalau om pakai sepatu kan aku bisa lap sepatu om dulu, baru pantas dapat upah kupat tahu “, jawabnya.
Tak terasa hati ini terasa pedih teriris jawaban yang polos seorang anak kecil.
Andaikan seluruh anak bangsa punya pemikiran jernih seperti anak kecil ini, maka kemajuan dan kehormatan akan berjalan beriringan.
Sejahtera lahirnya dan berkah usianya. Terkadang pelajaran kehidupan yang berharga, tidak harus dari orang yang berpangkat dan bertitel.
Ternyata anak kecil yang lurus dengan didikan, jernih dengan pandangan bisa mewarnai nilai – nilai keluhuran dalam keadaban.
Lalu saya bertanya,
“Kenapa ade tadi bertanya sampai kapan kita bisa bertahan? Maksud ade apa ya ?”, tanyaku penasaran.
“Aku kebetulan dari pagi belum makan om, karena belum ada orang yang mau sepatu nya saya lap, padahal saya tidak minta upah yang mahal kok. Rp. 2.000,- sudah cukup asal bisa makan “, jawabnya.
Tak terasa air mataku menetes, “ Ada yang salah dengan kehidupan berbangsa kita”, gumamku.
Saat orang lain mencari Rp. 2.000 saja untuk sekedar ganjal perut susah, masih ada orang – orang yang katanya “terhormat dan terdidik” begitu teganya menyikat uang dari hak – hak kaum papa tak berdaya.
Bagaimana pertanyaan di akhirat kelak ?
Wahai saudara – saudaraku yang selama ini merasa makan saja berlebihan.
Tahukah masih banyak di sekitar kita yang kelaparan dan mengais sisa – sisa makanan.
Wahai saudara – saudaraku yang tidur nyaman berselimut tebal.
Tidakkah tahu bahwa disamping rumah kita banyak yang menggigil kedinginan.
Jangan – jangan?
Setiap butir nasi yang kita makan adalah kumpulan air mata kaum papa.
Jangan – jangan?
Setiap gelak tawa kita di pesta – pesta adalah pengorbanan kaum miskin yang kita rampas hak-nya
Mau sampai kapan kita bertahan ?
Sebuah pertanyaan sederhana yang layak jadi bahan renungan.
Oleh : Dede Farhan Aulawi