Jum'at, 10 Januari 2025

NASIONALISME SANTRI; KRITIK TERHADAP AKTIFIS HTI

NASIONALISME SANTRI; KRITIK TERHADAP AKTIFIS HTI

OPINI
15 November 2017, 13:23 WIB

CuplikCom15112017132616-FB_IMG_1510727001717.jpg

Ustadz Casmin AR (Dok.pribadi Ustadz Casmin Abughiffar)

Oleh : Casmin AR* 

Sebagaimana diberitakan Tempo.Co dan Media-media Online lainnya, GP Ansor Bangil dianggap ‘melakukan pembubaran’ pengajian Felix Siauw di Masjid Manarul Islam, Bangil, Pasuruan, pada Sabtu pekan lalu (4/11/2017), hal ini terpaksa dilakukan karena Felik Siauw tidak berkenan menyepakati tiga poin MOU yang diajukan Barisan Serbaguna (Banser) NU. Tiga poin itu ialah, pertama, Felix, yang juga mantan tokoh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), mau mengakui Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, tidak mendakwahkan konsep khilafah dalam pengajian tersebut. Ketiga, bersedia meninggalkan HTI yang telah dibubarkan pemerintah. "Namun, Ustad Felix menolak semua kesepakatan itu dan memilih meninggalkan bangil".

Sejatinya konflik atau perbedaan yang terjadi antara kader-kader Ansor/banser dengan Felix Siauw bukanlah atas dasar perbedaan atau perseteruan pribadi atau golongan tapi lebih karena perbedaan ideologis dalam memahami Nasionalisme dan NKRI. Bagi kader Ansor bahkan mayoritas nahdliyyin mereka memahami dan meyakini bahwa nasionalisme adalah keniscayaan dan merupakan bagian dari ekspresi keimanan dan keislaman seorang warga negara Indonesia, olehnya NKRI bersifat final, sementara Felix Siauw sebagaimana pemahaman dan keyakinan tokoh-tokoh HTI lainnya, sering mengungkap bahwa nasionalisme tidak ada dalilnya dan bukanlah bagian dari Islam, mereka lebih memilih dan mengusung sitem khilafah.

Persepsi masyarakat kita mengenai nasionalisme ternyata tidak tunggal, faktanya perbedaan itu ada sebagaimana konflik yang terkonfirmasi dari kejadian Felik Siauw dan Banser NU, pertanyaannya kemudian bagaimana Islam ( Baca : Umat Islam) menjawab hal ini.

Nasionalisme Ala Islam dalam Sejarah

Untuk bisa memahami Islam secara holistik, kita tidak hanya butuh mengedapankan unsur normativitas semata (dalil-dalil tekstual) namun juga perlu memperhatikan unsur historitas (kesejarahan), yang kadang diistilahkan juga dengan konteks, atau hal-hal yang ‘mengitari’ teks untuk selanjutnya kita baca dan kita hadapkan dalam konteks kekinian. Istilah nasionalisme terhitung wacana modern, mulanya manusia tidak mengenal konsep negara bangsa (nation-state). Dunia saat itu berupa wilayah imperium kekaisaran-kekaisaran kuno yang sangat luas. Pembentukan negara-bangsa baru terjadi akibat pengaruh nasionalisme yang geliatnya mulai muncul sekitar abad 18 di Eropa.

Gerakan nasionalisme pada waktu itu bersifat separatis lantaran kesadaran nasionalisme mendorong gerakan ini untuk melepaskan diri dari kekaisaran atau kerajaan tertentu. Di lain sisi, nasionalisme juga muncul sebagai kesadaran untuk menyatukan wilayah yang terpecah, seperti Italia 1848 dan Jerman (prusia) pada 1871.

Menjelang akhir abad ke-19, gagasan ini mulai menjalar ke Turki, Mesir, dan beberapa negara timur tengah. Nasionalisme yang menguat di timur tengah ini terdengar sampai ke Asia tenggara. Waktu itu, sudah banyak pribumi Indonesia yang menuntut ilmu di timur Tengah dan eropa. Disanalah, kaum muslim Indonesia bersentuhan dengan gerakan-gerakan nasionalisme.

Secara bahasa, nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa dan mendapat imbuhan –isme yang berarti faham. Jadi secara sederhana nasionalisme dapat diartikan sebagai faham tentang semangat kebangsaan, perasaan kebangsaan, yaitu semangat cinta atau perasaan cinta terhadap bangsa dan tanah air.

Nasionalisme yang mengandung nilai tentang kecintaan pada tanah air, mempererat persaudaraan, bela negara untuk membebaskan diri dari kolonialisme, faham seperti inilah yang dipahami, diyakini, dipraktekkan atau dijalankan oleh bangsa ini terlebih oleh kyiai dan santri pesantren yang merupakan pelaku sejarah tentang heroisme dan nasionalisme yang mempersatukan bangsa guna memerdekakan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa ini, resolusi djihad adalah contoh konkrit bagaimana bangsa ini, utamanya kaum santri dalam membuktikan dan menjalankan nasionalisme.

Dua bulan pasca kemerdekaan, bangsa ini diuji kembali oleh penjajahan belanda yang membonceng NICA. Ir. Soekarno, Presiden RI pertama saat itu tidak punya pilihan banyak, kemudian beliau meminta fatwa Hadratusyekh K.H. Hasyim Asy’ari di Jombang, KH. Hasyim Asy’ari kemudian mengumpulkan kyiai-kyiai NU dari konsul-konsul Jawa dan Madura pada tanggal 22-23 Oktober 1945. Sebagaimana kita tahu dalam sejarah pertemuan itu melahirkan keputusan yang dikenal dengan Resoloesi Djihad NU, yang salah satu isinya menyatakan bahwa NKRI yang baru merdeka wajib dipertahankan dengan segenap jiwa raga dan jihad wajib hukumnya bagi umat Islam. Resolusi ini dampaknya sangat dahsyat bisa menggerakan bangsa ini dengan kaum santri di dalamnya untuk mengusir NICA dengan belanda yang membonceng di belakangnya, perang berlangsung berhari-hari di Surabaya, yang diantara hasilnya adalah tewas seorang jenderal Inggris yang bernama JS. Mallaby.

Dengan demikian nasionalisme bisa dipahami suatu paham kesadaran untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa, karena adanya kebersamaan kepentingan , rasa senasib seperjuangan dalam menghadapi masa lalu dan masa kini, serta kesamaan pandangan , harapan dan tujuan dalam merumuskan cita-cita masa depan bangsa.

Kita sebagai warga Negara sudah selayaknya memiliki rasa bangga dan mencintai terhadap bangsa dan negaranya sendiri. Akan tetapi rasa bangga dan cinta kita terhadap bangsa dan Negara ini dengan sewajarnya, bukan berarti mengagung-agungkan bangsa dan Negara sendiri., dengan menganggap lebih unggul dan hebat dari bangsa lain.

Islam dan nasionalisme adalah dua sisi mata uang yang saling memberikan makna. Keduanya tidak bisa diposisikan secara dikotomi atau terpisahkan. Nasionalisme selalu meletakkan keberagaman dan pluralitas sebagai konteks utama yang darinya dapat melahirkan ikatan dasar yang menyatukan sebuah Negara dan bangsa.

Sebagaimana disampaikan di awal, bahwa Felix Siauw dan aktivis HTI lainnya, dalam banyak rekam jejak digital mereka sering menyampaikan bahwa nasionalisme tidak ada dalilnya dan bukanlah dari Islam, untuk menjawab pernyataan kelompok kontra nasionalisme berikut saya sampaikan penjelasan dan sekaligus sanggahan bahwa pernyataan Felix Siauw tidaklah semuanya benar, dalam persepsi saya masalah kepemimpinan walau merupakan hal yang penting namun bukanlah syu’bul iman (bagian dari pokok keimanan), namun masalah mu’amalah yang didalamnya banyak masuk ranah ijtihad. Berikut beberapa dalil yang disampaikan ulama terkait nasionalisme;

a. Q.S. Al-Nisa’ [4]: 66,

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ أَوِاخْرُجُوْامِن دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوْهُ إِلَّا قَلِيْلٌ مِنْهُمْ

“Andai saja kami wajibkan bagi mereka untuk membunuh diri kalian atau keluar meninggalkan tanah air kalian, tidak akan ada dari mereka yang melakukannya kecuali segelintir orang saja”.

Al-Razi menangkap kesan nasionalisme pada ayat ini. Beliau dalam tafsirnya Mafâtîhal-Ghaib(1981) menyatakan bahwa Allah swt sengaja mensejajarkan bunuh diri dengan meninggalkan tanah air. Kesan ini ditangkap dan diresapi secara mendalam oleh ulama muda al-Azhar masa kini, Usamah al-Sayyid al-Azharî. Menurutnya, angkat kaki meninggalkan kampung halaman (hijrah)merupakan hal yang sangat berat dilakukan dan butuh kesabaran ekstra. Rasa berat dan sulit ini kadarnya menyamai rasa sakit saat jiwa ini terbunuh. Hal ini menunjukkan hubungan seseorang dan rasa kecintaan terhadap tanah airnya memiliki tempat terdalam di hati. Demikian penjelasannya dalam al-Haqq al-Mubîn fî al-Radd ‘alâ man Talâʻaba bi al-Dîn (2015).

Al-Azharî kemudian memperkuat pendapatnya dengan pandangan Al-Mulâ Ali al-Qarî (w. 1014 H) dalam Mirqâh al-MafâtîhSyarhMisykâh al-Mashâbîh(2014) bahwa QS al-Baqarah [2]: 191 yang menyebutkan bahwa cobaan (fitnah)yang dimaksud dalam al-fitnah asyadd Min al-Qatl adalah keluar meninggalkan tanah air sebab sebelumnya disebutkan akhrijûhum min Haitsu Akhrajûkum. Sehingga meninggalkan tanah air merupakan cobaan terberat dalam hidup.

وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْل

“Usirlah mereka sebagaimana mereka mengusir kalian (dari kampung halaman kalian) dan cobaan (fitnah) itu lebih berat dari pembunuhan”.

b. Hadis Riwayat Ibnu Hibban dan Bukhori

Pada dasarnya setiap manusia itu memiliki kecintaan kepada tanah airnya sehingga ia merasa nyaman menetap di dalamnya, selalu merindukannya ketika jauh darinya, mempertahankannya ketika diserang dan akan marah ketika tanah airnya dicela. Dengan demikian mencintai tanah air adalah sudah menjadi tabiat dasar manusia.

Rasulullah SAW sendiri pernah mengekspresikan kecintaanya kepada Mekkah sebagai tempat kelahirannya. Hal ini bisa kita lihat dalam penuturan Ibnu Abbas ra yang diriwayatkan dari Ibnu Hibban berikut ini: Artinya: “Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu,” (HR Ibnu Hibban).

Di samping Mekkah, Madinah adalah juga merupakan tanah air Rasulullah SAW. Di situlah beliau menetap serta mengembangkan dakwah Islamnya setelah terusir dari Mekkah. Di Madinah Rasulullah SAW berhasil dengan baik membentuk komunitas Madinah dengan ditandai lahirnya watsiqah madinah atau yang biasa disebut oleh kita dengan nama Piagam Madinah. Kecintaan Rasulullah SAW terhadap Madinah juga tak terelakkan. Karenanya, ketika pulang dari bepergian, Beliau memandangi dinding Madinah kemudian memacu kendarannya dengan cepat. Hal ini dilakukan karena kecintaannya kepada Madinah.

Artinya: “Dari Anas RA bahwa Nabi SAW apabila kembali dari berpergian, beliau melihat dinding kota Madinah, maka lantas mempercepat ontanya. Jika di atas atas kendaraan lain (seperti bagal atau kuda, pen) maka beliau menggerak-gerakannya karena kecintaanya kepada Madinah,” (HR Bukhari).

Apa yang dilakukan Rasulullah SAW ketika kembali dari bepergian, yaitu memandangi dinding Madinah dan memacu kendaraannya agar cepat sampai di Madinah sebagaimana dituturkan dalam riwayat Anas RA di atas, menurut keterangan dalam kitab Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani menunjukkan atas keutamaan Madinah disyariatkannya cinta tanah air.

Artinya: “Hadis tersebut menunjukan keutamaan Madinah dan disyariatkannya mencitai tanah air serta merindukannya” (Lihat, Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, Beirut, Darul Ma’rifah, 1379 H, juz III, halaman 621).

Demikian argumentasi dan dalil yang bisa digunakan sebagai landasan nasionalisme, karena letak masalahnya lebih banyak di ranah ijtihad pada aspek muamalah, maka tentunya perdebatan ini dalam Islam adalah hal yang lumrah dan tidak ada ruginya, hanya dalam konstitusi yang sudah menjadi konsensus bangsa ini, nasionalisme adalah selaras dengan konstitusi dan falsafah bangsa, sehingga tidak ada resistensi dan ketegangan di sana, sementara yang lainnya (baca : ideologi khilafah) di samping merupakan ideologi transnasional juga dianggap sebagai ‘pengganti’ ideologi dan falsafah bangsa yg sudah disepakati, yang tentunya mesti menimbulkan resistensi dan benturan-benturan. Menghadapi pilihan ini tentu saya lebih memilih yang santai sambil menguraikan ketegangan dengan menyanyikan lagu yang penuh semangat karya KH. Wahab Chasbulloh dalam membangunkan anak bangsa untuk lebih mencintai negeri Indonesia yang indah ini,

“Ya lalwathon ya lalwathon ya lalwathon Hubbul wathon minal iman.....
Wala takun minal hirman...
Inhadlu ahlal wathon......................... ” 2x “
Indonesia Bilady......
Anta unwanul fakhoma........
Man ya’tika yauma .......
Thomiha yalqa himama.....................” 2x

***

-----------------------------------------------
* Penulis adalah berasal dari Indramayu, alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pernah aktif di Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Indramayu (KAPMI) D.I. Yogyakarta. Saat ini penulis menjadi salah satu Pegawai Negeri Sipil (PNS) di kabupaten Subang.


Penulis : Almak
Editor : Didi Rahadi

Tag :

CURHAT RAKYAT

Ikan gurame terbesar sedunia di Bandung

Ikan gurame ini saya pelihara dari seukuran silet hingga besar seperti ini dalam waktu 5 tahun. Ikan gurame ini jenis bastar & berkelamin betina.

Workshop Gerabah Sitiwinangun Kabupaten Cirebon

Sitiwinangun adalah nama sebuah Desa yang terletak di Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon. Desa ini sudah lama dikenal sebagai pusat kerajinan gerabah terbesar dan masih bertahan di wilayah Kabupaten Cirebon. Dapat dikatakan kerajinan gerabah Sitiwi

Kemenparekraf Gandeng Merry Riana Group Tingkatkan

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) kembali menjalin kerja sama dengan Merry Riana Group dalam upaya meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) ekonomi kreatif. Kolaborasi ini bermula dari kunjungan Menteri Pariwisata dan E

TERBARU LAINNYA

IKLAN BARIS

Bakso Goyang Lidah depan Gardu Induk Singajaya, menggoda selera. Kualitas Daging Sapi terjamin.
layanan terapi hati ,kesembuhan luka batin,fobia,anxiety ,cemas, hidup sial,tak bahagia ,rezeki seret,psikomatik dan semua yang urusan pikiran ,bisa konsultasi wa 0813 5227 9928 /bang rudy insyaalllah
Ruqyah Islami wilayah Indramayu dan sekitarnya, Hub Ustadz ARI wa 0877-2411-1128
Jasa Foto / Video Wedding dan Prewedding, Live Streaming Indramayu dan sekitarnya, Harga Terjangkau Kualitas Cemerlang. Cuplik Production WA 081312829503
Hadir FRENDOT jasa pembuatan stiker, kalender, plakat, cetak ID card dan banyak lainnya lokasi depan RS MM Indramayu