Rusdianto Samawa (cuplik/ist)
Oleh: Rusdianto Samawa*
"Aku bingung, semua bingung mas", demikian sesal dan lampiasan kekecewaan banyak media darling yang selama ini kontra Menteri KKP RI. Media darling diwakili oleh personal jurnalis yang memang mereka berasal dari nelayan asli dikampungnya.
Ada juga, jurnalis secara pribadi yang menyatakan sikap bingung melalui pesan messenger WhatsApp seperti koran Indopost, Kompas, MetroTv, The Jakarta Post, dan nusantaranews. Jurnalis lain banyak yang menyatakan sesal sekaligus simpatik terhadap aksi 17 Januari 2018.
Selain itu, tentu nelayan yang tersebar dimedia sosial menyatakan bingungnya melalui permintaan nomor kontak dan messenger facebook. "Semua Bingung" mengapa Menteri KKP berbeda dengan Presiden Jokowi dalam mengambil keputusan. Saya menjawab mereka bahwa "Presiden dan Menteri tidak berbeda sama sekali, bahkan Menteri KKP sebagai bawahan langsung menjalankan keputusan audiensi atau dialog antara Presiden dengan Nelayan.
Pertanyaannya, apa yang membuat mereka bingung dan sesal? selama 3 tahun terakhir proses pembangunan opini terhadap masyarakat nelayan sangat sulit. Bahkan harus berjuang lebih keras lagi melalui berbagai cara.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan faktor-faktor yang menghambat pembangunan opini itu karena kepentingan uang untuk membayar media. Padahal, kemenangan sejatinya sudah didapatkan sejak UJI PETIK dilakukan oleh sekelompok akademisi dan Partai Politik yang menyimpulkan "Semua alat tangkap sangat baik dan sustainable apabila diatur dan tidak dilarang. Karena semua alat tangkap tidak merusak lingkungan apabila dikendalikan". Dari hasil uji petik inipun menjadi dasar argumentasi yang sangat kuat. Standarnya pada keinginan bersama bahwa Cantrang dan alat tangkap lainnya tidak harus dilarang.
Sebetulnya, hasil Uji Petik telah membuat pandangan streotif menjadi objektif, dan pandangan sinis menjadi ragu terhadap kebijakan KKP RI. Namun, semua pandangan ini kembali mengemuka menjadi sinis, benci, dan simpatik terhadap KKP RI karena telah mengambil kesempatan dan kesepakatan bahwa "NELAYAN BERALIH ALAT tangkap".
Starting point ini, demonstrasi pada 17 Januari 2018 itu gagal persfektif komunikasi issu antara perwakilan nelayan dengan keinginan nelayan. Menurut sebagian nelayan yang beredar wilayah media sosial, semua mereka merasa bingung ketika Presiden Jokowi membolehkan melaut hingga tak ada batas waktu dengan syarat bersedia beralih alat tangkap. Opsi Presiden Jokowi ini diterima oleh nelayan, tak ada tanggapan menolak opsi presiden.
Atas opsi tersebut, tafsir regulasi dan kebijakan dirunut untuk menjalankan komitmen bersama. Hingga akhirnya, sehari pasca demonstrasi nelayan tepat pada tanggal 18 Januari 2018, surat elektronik KKP yang berisi tentang rapat koordinasi teknis penyelsaian beralih alat tangkap.
Yang paling dahsyat, jauh hari sebelum demonstrasi bahwa satgas peralihan alat tangkap sudah dibentuk. Ternyata, strategi ini sudah berjalan sejak ada informasi demo nelayan, dimana semua alat negara dipakai untuk membasmi nelayan, mulai dari TNI AL, BAKAMLA, POLRI, hingga Pembentukan SATGAS ALIH ALTAP. Sehingga sangat mudah untuk mengambil kesepakatan antara pemerintah dan nelayan yang menyebabkan nelayan tak sadar kalau dalam cengkeraman (sebentar lagi mati).
Pasca demo itu, hampir semua orang yang ikut berjuang, mulai dari orang simpatik hingga orang merasa diri terlibat dalam perjuangan mengaku sesali antara keputusan alih alat tangkap. Lebih-lebih nelayan yang tersebar dimedia sosial dan menambah kebingungan mereka.
Atas keputusan itu, dapat dirasakan kebatinan nelayan sehingga harus menghadapi seluruh regulasi yang membelitnya saat ini, seperti boleh melaut harus mengurus SIPI, VMS, dan tanda tangan surat pernyataan harus alih alat tangkap.
Semua ini, harus dijalankan oleh nelayan tanpa sistem barter apapun. Harus dipatuhi sebagai komitmen bersama. Bahkan, menteri KKP pada hari Kamis hingga Sabtu harus open gerai pengurusan izin di Tegal. Walaupun, banyak nelayan menolak dicantumkannya tahun ganti alat tangkap, tetapi tetap berkomitmen ganti alat tangkap.
Bagi nelayan, situasi ini sangat sulit karena negosiasi dan diplomasi ditempuh secara tidak sehat. Sementara keinginan KKP RI ingin mematikan nelayan Cantrang dengan issue lebih populis yakni Cantrang Tidak Ramah Lingkungan. Sehingga publik bertahun-tahun lamanya mencap atau melabelkan Cantrang sebagai alat tangkap yang merusak. Apalagi, dimasukan dalam kategori trawl, padahal sangat jauh pengertiannya.
Semua bingung, demikian intinya dalam semua proses yang telah dilewati ini. Beberapa hal yang menjadi fatal dari proses bersedianya alih alat tangkap, yakni: 1). semua yang bersimpati sekarang kembali merestact pikiran dan upayanya dengan pertanyaan "mengapa harus bersedia alih alat tangkap". 2). Banyak orang yang tidak lagi berada dalam proses perjuangan karena pengakuan terhadap alih alat tangkap merupakan upaya pengakuan nelayan sendiri bahwa "Cantrang Memang Merusak Lingkungan Sehingga Harus Alih Alat Tangkap". 3). Media-media darling Cantrang tak lagi selantang sebelumnya karena secara faktual nelayan telah mengamini peralihan alat tangkap. 4). Hasil Uji Petik diserahkan kepada Presiden, beberapa fungsionaris Partai Nasdem yang merupakan sahabat dan pernah aktif di Garda Pemuda Nasdem tahun 2012. Mereka menyatakan "Saya Bingung dengan nelayan mas", bahwa nelayan kita bantu semaksimal mungkin agar bisa diatur dan KKP mengeluarkan regulasi untuk mengatur. Namun, diluar dugaan nelayan menyepakati peralihan alat tangkap sehingga hasil uji petik gugur tak ada manfaatnya.
Apalagi kawan-kawan surimi yang merasakan hadirnya Cantrang sebagai basis bahan baku olahan berbagai produk. Tentu sangat berharap Cantrang dilegalkan secara nasional. Namun, langkah demi langkah kedepan akan lebih berat dan ruwet sekali.
Yang tidak normal dalam konteks perjuangan ini, nelayan hanya menunggu pukulan Pemilihan Presiden 2019. Sekarang, kita bisa hitung normal jumlah suara wilayah pantura Jawa kurang lebih 1 juta. Hitungan 1 Juta itu sudah kelipatan bersama keluarga nelayan. Kecuali dalam konteks Pilkada beberapa Bupati dan Gubernur mungkin saja kalah dengan suara nelayan. Tetapi, suara nelayan di Pilpres belum menjamin bisa mendorong dan menggeser suara fundamental Jokowi.
Dari hasil negosiasi dan diplomasi itulah harus dievaluasi model gerakan yang harus dibangun. Karena dampak yang diterima oleh nelayan adalah dissenting opinion dan regulasi yang bernafsu mematikan nelayan. Ini sangat sulit dihadapi oleh nelayan.
Oleh karena itu, mari kembali memupuk semangat "semua yang bingung" agar kembali tidak bingung. Jangan lagi menganggap si A dan B membelot karena pikiran kritisnya. Justru, evaluasi gerakan yang ada lebih penting, untuk maksimalkan perjuangan hadapi kemungkinan kedepannya.[]
--------------
* Ketua Umum majelis Pusat Front Nelayan Indonesia (FNI).