Beras Bulog (cuplik/ist)
Cuplikcom - Jakarta - Petani di sejumlah wilayah Jawa Tengah menjerit harga gabah anjlok hingga Rp 3800 per kilogram. Sayangnya, Bulog belum banyak lakukan aktivitas pembelian gabah sebagai upaya perkuat beras cadangan pemerintah yang juga ikut anjlok. Penugasan pemerintah serap gabah 4,4 juta ton gabah berpotensi terkendala.
"Harga gabah sekarang turun Rp 3800 per kilogram. Turunnya harga gabah ini merata di seluruh wilayah Grobogan," jelas Kastuari, petani di Desa Menduran, Kec. Brati, Kab. Grobogan, beberapa hari lalu, Sabtu (10/2/2018).
Menurut dia, anjloknya harga gabah ini lebih disebabkan tingginya curah hujan di Grobogan saat ini. Akibatnya, sepekan ini gabah petani kurang mendapat penyinaran matahari sehingga susah kering.
"Padahal dulu saat cuaca bagus bisa Rp 4200 hingga Rp 4500 per kilogram. Tapi sepekan ini terus mengalami penurunan sampai Rp 3800 per kilogram karena hujan," katanya.
Sayangnya, harga yang turun drastis ini malah tidak dimanfaatkan oleh Bulog untuk melakukan pembelian gabah petani. Ditegaskan dia, hingga hari ini dirinya belum mendengar ada kabar Bulog turun ke sawah untuk melakukan aktivitas pembelian gabah.
"Memang sudah ada Babinsa foto-foto, ambil gambar, tapi saya belum dengar akan ada pembelian gabah oleh Bulog. Justru disini yang beli tengkulak-tengkulak. Biasanya mereka (Bulog) maunya beli beras langsung dari penggilingan," jelas Ketua Gapoktan Mawar Sari ini.
Petani pemilik lahan 2 hektar ini pun tidak kaget dengan situasi ini. Menurutnya, memang sudah lazim jika Bulog enggan membeli gabah langsung dari petani. Kendati sudah ada Tim Sergap bentukan Kementan untuk beli gabah langsung dari petani, dia ragu tim ini efektif di lapangan.
"Kenyataannya begitu di lapangan. Itu fakta. Apalagi Bulog, yang cuma program-program saja tapi faktanya tidak ada," tutur dia.
Komentar DPR RI
Terpisah, Ketua Komisi IV DPR RI Edhy Prabowo meminta Bulog bisa lebih optimal lagi dalam menyerap gabah petani yang dalam 4 bulan ini akan panen sekitar 20 juta ton beras petani.
“Menurut saya yang perlu dioptimalisasi saja. Kita sudah minta Bulog serap gabah, tapi Bulog ini bukan satu-satunya yang menyerap. Sementara Bulog tidak punya fleksibiltas harga. Dia hanya punya fleksibilitas kalau kita kasi muatan, kita kasi pegangan, kita kasi instruksi, baru bisa gerak,” kata Edhy.
Selama ini, kata dia, Bulog bekerja atas dasar peraturan yang dibuat oleh pemerintah dimana dimana Gabah Kering Panen Rp 3700 per kilogram, Gabah Kering Giling Rp 4600 per kilogram dan beras Rp 7300 per kilogram sementara harga pasar untuk beras saja sudah diatas Rp 8000 per kilogram. Sementara Bulog maksimal serapan gabahnya paling banyak 8 persen dari seluruh gabah yang ada di petani.
“Kalau cuma 8 persen, 90 persennya siapa yang pegang. Jadi tidak bisa juga dijadikan pegangan di Bulog untuk ambil kebijakan impor. Cadangan beras Bulog saja ini (dipakai operasi pasar) tidak bisa pengaruhi pasar. Bagaimana kalau misalnya tiba-tiba ada kelompok pedagang bersatu kendalikan pasar. Apa bisa Bulog intervensi itu? Makanya tata kelola pangan harus rapi,” katanya.
Karena itu, dia meminta peran Bulog harus diperkuat. Sebab hambatan di Bulog bukan hanya secara kelembagaan saja, tapi juga di jajaran direksi Bulog yang ternyata tidak terlalu memantau situasi di lapangan. Dia pun tidak kaget kalau kemudian orang-orang Bulog ini jarang turun ke lapangan memantau situasi gabah petani.
“Bulog ini punya pengendalian uang, punya fleksibilitas sendiri tapi banyak kendala. Direksi yang ada saja sekarang ini orang bank, bukan orang lapangan sehingga berpikirnya diatas kertas. Direksi itu yang perlu operasional, bekerja di lapangan jadi tahu situasi di lapangan. Sisi lain Bulog kita kritik juga karena tahun ini serapannya sedikit sekali padahal tahun-tahun sebelumnya bisa. Padahal pinjaman nggak dipersulit, lewat bank swasta bisa. Kemudian PMN Bulog tidak dibatasi asal diperkuat. Buktinya tidak ada yang berani potong selama untuk kepentingan petani,” jelasnya.
Terpisah, Anggota Komisi IV DPR RI Firman Soebagyo juga mengaku tidak terlalu heran jika Bulog masih enggan menjalankan tugasnya untuk menyerap gabah petani untuk perkuat cadangan beras pemerintah.
“Bulog ini problem utamanya karena dua fungsi, sebagai perum dan fungsi sosial. Ketika dia harus melakukan serap gabah kemudian tidak disupport anggaran pemerintah pasti kesulitan. Apalagi itukan menggunakan pinjaman komersial. Kalau pinjaman komersial pasti jadi beban perusahaan,” katanya.
Bulog, kata dia, tak bisa dipungkiri menganggap bisnis gabah tidak akan pernah menguntungkan. Makanya ogah-ogahan beli gabah karna tidak mau rugi, sementara disisi lain mau untung tapi tidak mampu bersaing.
“Makanya saya sejak dulu usulkan Bulog dikembalikan fungsinya menjadi bufferstok dan penyangga harga. Cuma Bulog ini kan mulai kedodorannya ketika kerjasama dengan IMF. Dalam pesyaratannya itu, Bulog tidak boleh menjadi lembaga penyangga karena pihak asing punya rencana kuasai pangan di Indonesia,” jelas dia.
Disamping itu, pembentukan lembaga pangan dibawah kendali presiden harus disegerakan. Sebab jika masih mengandalkan Bulog yang notabene di bawah Kementerian BUMN maka dipastikan masalah pangan akan tetap muncul seperti saat ini. “Negara ini kalau memang memikirkan rakyatnya, ya harus diikhlaskan Bulog kembali yang lalu, manajemen SDM juga diperbaiki,” tandasnya.