Selain berpredikat sebagai negara yang besar, Negara ini juga didukung dengan kekayaan alam yang melimpah ruah. Kekayaan alam seperti logam timah, misalnya. Hingga kini, Indonesia adalah penghasil timah terbesar di dunia, setelah China. Bangka Belitung (Babel) adalah daerah penghasil timah terbesar di Negeri ini. Namun sayang, kesejahteraan masyarakat Babel tidak sesubur apa yang telah dihasilkan daerah tersebut. Bahkan, kekayaan alam Babel itu diprediksi akan 'wafat' 10 tahun lagi.
Penambangan timah di Babel telah dimulai sejak lebih dari 200 tahun lalu. Bila eksploitasi tambang timah di Babel tidak terkendali, dikhawatirkan timah di daerah itu akan habis 10 tahun lagi. Hal itu disampaikan Agus Erwin, pengamat masalah timah dalam seminar 'Menyelamatkan Industri Timah Nasional' di Ruang GBHN, gedung Nusantara V Kompleks DPR/MPR Jakarta, Selasa (24/3) lalu.
"US Geological Survey 2006 menyatakan, cadangan terukur timah di Indonesia hanya 800 ribu sampai 900 ribu ton. Ekspor setahun rata-rata 60 ribu ton setara dengan 90 ribu ton pasir. Berarti cadangan tinggal 10 tahun lagi. Pada 2015, bola liar akan menggelinding pergi meninggalkan tanah dan buruh di Babel," kata Agus.
Diizinkannya tambang inkonvensional (TI), sebenarnya menjadi berkah bagi dua perusahaan tambang timah, yakni PT Timah Tbk sebagai BUMN dan PT Koba Tin (investor asal Malaysia), karena tidak perlu membuka area penambangan. Namun, hal itu justru memperparah ketersediaan logam timah di Babel.
Oleh karena itu Agus mengusulkan, untuk menghindari habisnya sumber daya timah harus ada kebijakan-kebijakan strategis. Pertama, jalur ekspor satu-satunya harus dari satu pintu, yakni PT Timah yang telah ditunjuk sebagai BUMN industri tersebut. Termasuk mengembalikan eksplorasi hanya kepada PT Timah. Kedua, PT Timah lebih fokus mengatur kuota produksi dan menghadapi persaingan produsen timah dari negara lain di pasar internasional.
Pendapat yang sama juga dikatakan Rusli Rachman, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Babel. Menurutnya, meski diizinkannya TI merupakan sebuah berkah bagi negara, fakta yang terjadi dilapangan menunjukkan bahwa TI telah memporak-porandakan muka bumi Babel sedemikian rupa. Kerusakan itu bisa dilihat dari kondisi hutan, jalan, sungai, kebun, pantai, bahkan merusak kesehatan.
Ia menyayangkan hasil dari TI tidak ditanam dan beredar di Balbel, tetapi diangkut oleh para pemilik modal yang umumnya berasal dari luar Babel. Bila hasil itu dibawa ke Jakarta berarti memberi konstribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta. Begitupula bila dibawa ke Palembang, Jambi, Lampung atau Jawa. "Konon tidak sedikit yang ditransfer ke luar negeri seperti Singapura, Hongkong, Malaysia, dan sebagainya," terangnya.
Anggota DPD DKI Jakarta Marwan Batubara mengatakan, masalah-masalah yang melekat dengan pengelolaan industri timah nasional selama ini antara lain, belum optimalnya kebijakan nasional, peraturan yang bermasalah, penegakkan hukum yang tidak konsisten, KKN berbagai oknum, pencurian, penyelundupan, perusakan lingkungan, dominasi asing dan pemilik modal, serta kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat. "Seluruh masalah ini saling terkait dan telah berkonstribusi terhadap tidak optimalnya hasil tambang timah bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat," katanya.
Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, Marwan berharap pemerintah segera mengambil langkah-langkah dan kebijakan yang tegas, terutama agar pendapatan negara dan daerah dapat meningkat. Dia mengusulkan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan sebagai pedoman jangka panjang pengelolaan industri timah nasional, yang disusun atas dasar prinsip-prinsip keseimbangan aspek-aspek ekonomi, sosial, politik, lingkungan, dan kesinambungan pasokan.
Selain itu, Marwan juga mengusulkan agar pemerintah membatasi dan menetapkan batas maksimum atau kuota produksi timah nasional setiap tahun. Misalnya 75 ribu ton per tahun, terutama untuk pengendalian harga dan proteksi kebutuhan jangka panjang dalam negeri. Pemerintah juga perlu mengeluarkan peraturan baru yang lebih meningkatkan peran BUMN, BUMD dan parisipasi rakyat daerah, serta memudahkan pelaksanaan pengawasan sejalan dengan ditetapkannya UU Minerba No. 4 Tahun 2009.