Ketua Umum SBMI, Hariyanto (cuplikcom/ist)
Cuplikcom - Jakarta - Sepanjang tahun 2015 sampai 2017, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) telah menerima pengaduan sebanyak 1500 pengaduan berbagai kasus Pekerja Migran Indonesia (PMI) dari sejumlah negara penempatan. Pengaduan dari korban 50 persen melalui keluarga korban maupun korbannya langsung yang mengadu pada SBMI.
Perihal itu diungkapkan Ketua Umum SBMI, Hari Yanto, saat acara Workshop strategi klaim kompensasi massal untuk pekerja migran Indonesia lintas batas yang digelar SBMI bersama Yayasan TIFA dan OSJI di Swiss-Belresidences Kalibata Jakarta Selatan, Rabu (5/12/18).
Hari menyebutkan, 20 persen lainnya rujukan dari SBMI daerah untuk merujuk kasusnya ke SBMI Pusat karena penyelesaiannya tidak bisa di daerah, dan pengaduan tersebut ada yang melalui siaran dalam jaringan (daring/online).
"Ada juga yang melalui telepon sebanyak 10%, melalui media sosial 5 persen, 10 persen rujukan dari lembaga lain yang sudah menjadi mitra dalam penanganan kasus bersama, dan 5 persen inisiasi SBMI yang melakukan penanganan kasus dengan menjemput bola," terangnya
Ia menjelaskan, ada berbagai jenis kasus yang ditangani SBMI selama 2 tahun terakhir, diantaranya Klaim asuransi sebanyak 300 kasus. Dari 300 kasus tersebut, 240 kasus merupakan PHK sepihak, 10 kasus meninggal dunia, 1 kasus klaim asuransi bantuan hukum, 33 klaim asuransi sakit, dan 9 klaim asuransi PHK atau gaji tidak dibayar bagi PRT migran.
"Ada pelanggaran kontraktual juga yang dialami oleh PMI, yaitu dipekerjakan tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja serta tidak mendapatkan gaji dalam bekerja, serta pembebanan biaya yang berlebihan," paparnya
Selain itu, lanjut Hari, SBMI banyak sekali menangani kasus PMI yang tidak digaji oleh majikannya, seperti 2 pengaduan dari Indramayu misalnya, yang bekerja di Timur Tengah selama 4 tahun dan 19 tahun.
"Upaya yang dilakukan SBMI adalah mengadukan permasalahan tersebut ke Direktorat PWNI/BHI serta berkirim pengaduan langsung kepada perwakilan yang ada di negara dimana PMI tersebut bekrja melalui surat elektronik dengan data seadanya yang dip;eroleh dari keluarga korban," jelasnya
Dikatakannya, kasus lain merupakan penahanan dokumen penting milik PMI oleh PPTKIS, yang digunakan sebagai jaminan bahwa PMI yang ditempatkan harus bekerja sampai finish kontrak. Hal ini dilakukan PPTKIS untuk mengontrol PMI, dan jika dokumen tersebut dikembalikan agar ditebus dengan uang sebagai ganti biaya penempatan, jika PMI tidak bekerja selama kontak.
Padahal, lanjut Hari, seringkali PMI diPHK sepihak oleh majikan dengan alasan yang tidak masuk akal dan akhirnya dipulangkan masih dalam masa potongan, sementara dokumen ada di PPTKIS.
"Kasus Overcharging atau beban biaya yang berlebihan juga sering diadukan oleh PMI pada SBMI. Kasus ini kaitannya dengan minimnya informasi dan kontraktual, sering ditemukan adanya praktik pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh oknum PPTKIS," pungkasnya