Dede Farhan Aulawi. (Foto: istimewa)
Oleh : Dede Farhan Aulawi (Pengamat Penerbangan)
Cuplikcom - Baru beberapa bulan yang lalu dunia penerbangan Indonesia berduka atas musibah jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 di laut Jawa beberapa saat setelah lepas landas, tiba – tiba dunia penerbangan dikejutkan kembali dengan musibah jatuhnya pesawat Ethiopian Airlines yang diduga memiliki kesamaan model dari penyebab jatuhnya pesawat Boeing 737 MAX 8 tersebut.
Selain masyarakat domestik yang memiliki perhatian pada kecelakaan pesawat, juga masyarakat dunia dibuat penasaran dan ingin mengetahui penyebab kecelakaan tersebut. Tentu mereka bukan saja soal ingin tahu semata, tetapi mereka (masyarakat internasional) telah menjadi bagian dari entitas pengguna jasa transportasi udara.
Oleh karena itu sebuah kewajaran jika masyarakat internasional memiliki perhatian penuh. Terlebih dunia saat ini yang hampir tanpa batas, maka moda transportasi udara telah mampu mengantar umat manusia untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa sekat ruang dan waktu.
Namun tentu disamping dukungan operasional, mereka juga membutuhkan kepastian keselamatan dalam menggunakan jasa udara tersebut.
Dalam terminologi penerbangan ada dua istilah yang sering disandingkan menjadi satu paket, yaitu kelaikan terbang (airworthiness) dan keselamatan penerbangan (safety). Artinya selain secara teknis pesawat tersebut laik untuk dioperasikan, juga tidak boleh melupakan pemenuhan semua ketentuan dan regulasi penerbangan itu sendiri.
Itulah sebabnya dunia penerbangan itu memiliki karakteristik resiko tinggi (high risk) dan regulasi yang sangat ketat (high regulated). Kenapa regulasinya sangat ketat ? jawabannya ya karena resiko pengoperasiannya sangat tinggi. Oleh karena itu bagaimana mengelola resiko yang tinggi tersebut agar bisa tetap dioperasikan dengan selamat, maka kata kuncinya adalah semua operator penerbangan harus mengikuti semua peraturan yang berlaku (follow the rules).
Tidak ada kompromi untuk semua hal yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan ( no compromise with all safety regulation). Pemenuhan semua ketentuan keselamatan ini bersifat WAJIB, dan harus dipenuhi oleh semua orang yang bekerja dan berkaitan dengan dunia penerbangan.
Hal ini juga akan berpengaruh pada ketentuan – ketentuan yang berkaitan dengan investigasi kecelakaan penerbangan. Itulah sebabnya tidak sedikit orang yang bertanya kenapa investigasi kecelakaan penerbangan itu dianggap lama. Sekali lagi karena menyangkut masalah metodologi investigasi dalam memenuhi semua ketentuan yang berkaitan dengan peraturan keselamatan penerbangan.
Bukan hanya undang – undang atau peraturan nasional saja, melainkan juga semua ketentuan penerbangan yang berlaku internasional. Harus diakui bahwa aturan – aturan penerbangan di Indonesia banyak mengambil dari ketentuan internasional, seperti aturan dari International Civil Aviation Organization (ICAO).
Di samping itu ada juga yang diadopsi dari ketentuan peraturan yang diterbitkan oleh otoritas penerbangan AS (FAA) dan otoritas penerbangan Eropa (EASA). Tentu sah – sah saja mengadopsi ketentuan dari negara lain, selama semua itu relevan demi keselamatan penerbangan.
Dalam melaksanakan investigasi kecelakaan penerbangan tidak bisa didasarkan atas asumsi atau dugaan semata, melainkan harus berpatokan pada ketentuan – ketentuan spesifik di bidang penerbangan, misalnya merujuk pada data dan informasi yang didapatkan dari analisa black box yang berwarna orange, baik FDR maupun CVR.
Belum lagi keterangan dari pabrik pembuat (manufacturer)-nya. Termasuk dari komite keselamatan transportasi (semacam KNKT Indonesia) masing – masing negara, dimana ada warga negaranya yang menjadi korban.
Sebagai contoh pada kecelakaan Ethiopian Airlines di atas, karena ada WNI yang menjadi korban maka Pemerintah Indonesia mengirim personil KNKT untuk berkoordinasi dengan otoritas negara setempat.