Dede Farhan Aulawi. (Foto: istimewa)
Cuplikcom - Bandung - Berbicara korupsi sebagian akan membahasnya dengan penuh antusias karena sudah teramat sangat muak mendengar dan melihatnya.
Sebagian orang juga mungkin sudah apatis karena beranggapan bahwa korupsi dinilai sudah membuadaya, mengakar dan menyebar secara merata. Mungkin substansi bahasannya bisa diperdebatkan, namun permasalahan ini menjadi satu masalah yang menjadi perhatian seluruh umat manusia.
Semangat pemberantasan seringkali ewuh pakewuh dengan rasa empati dan toleransi kesalahan, karena kalau merujuk ke nominal angka tidak ada patokan pasti di angka berapa yang kira – kira bisa di toleransi.
Begitu juga di angka berapa yang dinilai sudah tidak bisa ditoleransi sehingga harus dihukum seberat – beratnya, termasuk kemungkinan diterapkan tuntutan hukuman mati.
Penerapan ancaman hukuman mati ini dengan harapan memberikan efek jera bagi yang lainnya, karena ancaman hukuman penjara saja terbukti tidak efektif dimana operasi tangkap tangan terus terjadi.
Terkait hal ini, media mencoba mewawancara Dewan Pembina Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia ( GNPK RI ) Dede Farhan Aulawi di Bandung, Kamis 1 Agustus 2109.
Dede yang merupakan aktivis anti KKN sejak masih di bangku kuliah tahu 1989 ini mengatakan, bahwa satu hal yang tak boleh dilupakan dalam membuat desain pencegahan korupsi adalah meminimalisir peran korporasi yang kadangkala sering “menggoda” atau “menggelitiki” para pengambil keputusan di suatu institusi dengan janji, hadiah atau gratifikasi dengan segala format dan bentuknya.
Selanjutnya Dede juga menambahkan bahwa desain pencegahan korupsi di suatu korporasi bisa dimulai dengan tiga hal, yaitu adanya Kebijakan Anti-Korupsi, Model Pencegahan Tipikor, dan Sistem Pengendalian Internal atas Pelaporan Keuangan.
"Manajemen dan karyawan harus mematuhi peraturan yang mencegah dan memberantas korupsi sesuai dengan prinsip-prinsip yang diuraikan dalam Kode Etik dan Perilaku Bisnis di perusahaannya. Manajemen wajib membangun komitmen untuk melakukan semua operasinya sesuai dengan hukum yang berlaku di semua bidang kegiatan," ujarnya.
Ia menuturkan beberapa contoh perilaku yang harus dibangun misalnya tidak membiayai atau mendukung partai politik atau kandidatnya secara langsung atau tidak langsung.
"Tidak menggunakan “sumbangan” untuk menyembunyikan pembayaran yang tidak semestinya. Tidak meminta atau menerima secara berlebihan, secara langsung atau tidak langsung, komisi, pembayaran atau hadiah dari pihak ketiga sebagai hasil dari investasi, divestasi, pembiayaan atau pengeluaran yang dilakukan oleh Perusahaan. Mempromosikan pelatihan internal tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi," paparnya.
Lalu terkait model pencegahan, Dede menekankan pada kepatuhan formal dan prosedur pemantauan yang memiliki kontrol yang bertujuan untuk mengurangi risiko ketidakpatuhan dengan peraturan internal dan eksternal, termasuk kepatuhan terhadap Kode Etik dan Perilaku Bisnis itu sendiri.
"Evaluasi efektivitas model ini, memiliki proses uji sebelum akuisisi atau pertukaran aset, merger, kemitraan, atau usaha patungan yang mengevaluasi dan mengelola risiko – resikonya," jelasnya.
"Termasuk harus memiliki Manual Pencegahan Kejahatan, khususnya dalam hal kemungkinan munculnya tindak pidana korupsi. Begitupun dengan Sistem Pengendalian Internal atas Pelaporan Keuangan," ungkapnya.
"Di AS misalnya ada kerangka kerja COSO 2013 (Komite Organisasi Sponsoring Komisi Treadway) dan AICPA (American Institute of Certified Public Accountants) dalam Pernyataan tentang Standar Auditing-nya," tandasnya.