Sekali lagi, Jaksa Agung Hendarman Supandji tampak emosional mendapat kabar kelakuan anak buahnya. Setelah Urip Tri Gunawan, kali Hendraman dipusingkan oleh ulah dua jaksa wanita. Esther Tanak dan Dara Veranita. Keduanya, diduga telah memperjualbelikan barang bukti narkoba. "Waduh, Man (Jasman)," begitu komentar singkat pertama Hendarman, sebagaimana diutarakan ulang oleh Kapuspenkum Kejagung Jasman Panjaitan.
Kasus Esther dan Dara seolah menambah panjang catatan buruk institusi Kejaksaan. Hendarman sendiri yang memaparkan catatan buruk itu. Sepanjang Tahun 2008, terdapat 251 kasus jaksa bermasalah. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, yang ‘hanya' 150 kasus. Setahun mundur ke belakang, terdapat 40 kasus. Menurut Hendarman, tren meningkatnya jumlah kasus jaksa dari tahun ke tahun haruslah dipandang sebagai peringatan.
"Tiga bulan lagi tidak terjadi? Saya tidak jamin," ujar Hendarman menyiratkan keputusasaan. Meskipun tampak terpukul, Hendarman mencoba mengevaluasi atas fenomena yang terjadi. Ia menilai selama ini, sistem pengawasan dan pembinaan yang ada sebenarnya telah berjalan. Kalaupun tetap terjadi penyimpangan, menurut Hendarman, penyebabnya adalah faktor moralitas.
"Saya selalu mengingatkan kepada jaksa-jaksa untuk tidak melakukan hal-hal yang pernah dilakukan jaksa nakal sebelumnya," ujar Hendarman seusai Sholat Jumat, (27/3). Ia tetap yakin sistem yang berlaku di Kejaksaan sudah berjalan dengan baik, hanya dirusak oleh moral dan mental aparat.
Kasus Esther dan Dara, menurut Hendarman, sebenarnya berkaitan dengan tertib administrasi yang selalu ditanamkan ke seluruh aparat Kejaksaan. Salah satu tertib administrasi itu mengatur bahwa barang bukti setelah persidangan dalam penanganan perkara sudah sewajibnya dikembalikan pada tempat penyimpanan barang bukti.
"Barang bukti kan harus ditertibkan," tukasnya. Jika barang bukti tidak dikembalikan atau hilang, maka telah terjadi pelanggaran tertib administrasi. Belajar dari kasus ini, Hendarman berencana akan mengawasi secara ketat penanganan barang bukti di setiap jajaran Kejaksaan.
Terpisah, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah menilai Kejagung telah menunjukkan kegagalan setidaknya pada dua divisi, pengawasan dan pembinaan. "Kita meragukan keseriusan mereka dalam melakukan pengawasan," imbuhnya. Menurut Febri, Kejaksaan harus segera memperbaiki sistem pembinaan. Khususnya, yang berkaitan dengan promosi dan mutasi jaksa.
Promosi dan mutasi, lanjut Febri, harus dilakukan secara transparan. "Itu harus dibuka ke publik," ujarnya. Selain itu, harus ada parameter yang jelas dalam mempromosikan seorang jaksa. Jaksa-jaksa yang terbukti melanggar kode etik atau melanggar administratif jangan dipromosikan. Febri mencontohkan, ketika Kemas Yahya Rahman dipromosikan, meskipun jelas-jelas terkait kasus penyuapan Artalyta Suryani dan Urip Tri Gunawan.
Wakil Ketua Komisi III DPR Soeripto berharap Jaksa Agung responsif berkoordinasi dengan DPR terkait maraknya jaksa bermasalah. Soeripto memandang instrumen pengawasan yang ada perlu dioptimalkan. Ia mendorong Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan berperan lebih aktif dalam mengawasi kinerja para jaksa. Bersamaan, Komisi Kejaksaan, menurut Soeripto, juga harus lebih pro aktif. "Jadi semua sektor di bidang pengawasan akan kita dorong dan kita optimalkan kinerjanya," pungkasnya.