‘Seperti dikejar-kejar waktu' itulah kata yang tepat untuk menggambarkan proses pembahasan RUU Pengadilan Tipikor di DPR. Tenggat waktu berdasarkan Putusan MK kian dekat, tetapi pembahasan belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Kalangan LSM pun khawatir ini pertanda buruk bagi nasib Pengadilan Tipikor.
Yang menjadi sorotan utama tentunya performa Pansus RUU Pengadilan Tipikor. Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menilai Pansus belum bekerja maksimal sehingga nasib pembahasan RUU pun tidak jelas. Untuk itu, Emerson mendesak pimpinan DPR mengevaluasi kinerja Pansus.
ICW mengajukan dua rekomendasi terkait performa Pansus. Pertama, mengganti Ketua Pansus yang kini dijabat Dewi Asmara, dan merombak ulang susunan keanggotaan Pansus. Kedua, memberikan peringatan kepada Pansus untuk menyelesaikan RUU sebelum masa kerja DPR berakhir.
"Tanpa adanya evaluasi dari pimpinan, dapat diartikan bahwa DPR secara institusi juga tidak punya komitmen untuk menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor," ujar Emerson.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) M Nur Sholikin berpendapat pilihan DPR membentuk pansus untuk membahas RUU Pengadilan Tipikor ketimbang komisi adalah pilihan yang tepat. Pasalnya, dari sisi manajemen waktu dan penjadwalan sidang, pansus tidak akan terganggu dengan jadwal komisi.
Namun, membentuk pansus ternyata tidak cukup. Menurut Sholikin, kunci keberhasilan penyelesaian RUU Pengadilan Tipikor diantaranya ditentukan oleh kemampuan pimpinan pansus dalam mengelola forum. Pimpinan pansus harus bisa mengelola waktu, mengatur jadwal dan mendorong pansus untuk berkomitmen menyelesaikan RUU tersebut. Sayang, Ketua Pansus yang kini dijabat Dewi Asmara dinilai tidak memiliki kemampuan itu.
"Oleh karena itu, diperlukan sosok yang berpengalaman dan mempunyai jaringan luas dan daya ikat kuat terhadap anggota DPR yang menjadi anggota pansus," papar Sholikin.
Selain itu, ia juga melihat sebagian anggota Pansus tidak memiliki political will yang kuat untuk menyelesaikan pembahasan RUU. Lemahnya political will ditenggarai karena banyaknya anggota dewan yang sudah diseret ke Pengadilan Tipikor. "Kondisi ini menunjukkan bahwa memperkuat atau membangun kembali Pengadilan Tipikor melalui undang-undang tidak akan memberikan insentif riil bagi anggota DPR, bahkan bisa dikatakan sebagai senjata makan tuan," ujarnya.
Kontrak politik
Mengingat nasib pembahasan yang tak kunjung jelas, ICW meminta seluruh fraksi membuat kontrak politik untuk menegaskan komitmen mereka. Kontrak politik dimaksud berisi komitmen menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor sebelum masa jabatan DPR periode 2004-2009 berakhir. Selain itu, kontrak politik juga menegaskan bahwa RUU Pengadilan Tipikor bertujuan untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi, khususnya kinerja KPK dan pengadilan Tipikor. "Kontrak politik ini akan kita lakukan pada tanggal 12 April nanti menjelang dimulainya masa sidang III Dewan," katanya.
Sementara itu, Anggota Pansus RUU Pengadilan Tipikor Soeripto menyambut baik gagasan kontrak politik yang dicetuskan kalangan LSM. Hanya saja, Soeripto mempertanyakan sampai mana efektifitas dari kontrak politik tersebut. Agara efektif, Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera ini memandang harus ada konsekuensi bagi anggota yang tidak serius menjalani isi kontrak politik.
"Setelah pemilu ini mungkin banyak anggota dewan yang berguguran, hingga kalau duduk di pansus, jangan-jangan kerjanya juga ogah-ogahan. Jadi dia masa bodoh amat mau ada kontrak politik bagaimana juga, tidak terlalu peduli dia. Jadi saya pikir ini faktor juga," ujarnya.
Terkait perombakan Pansus, Soeripto berjanji akan membawa ide ini ke rapat internal. "Nanti kita dorong kalau memang ada indikasi semacam itu, kita akan menghubungi pimpinan bahwa ada kritik yang ditujukan kepada pimpinan. Ini soal integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap pansus tipikor," pungkasnya.