Dede Farhan Aulawi. (Foto: istimewa)
Cuplikcom - Bandung - Berbagai penelitian ilmiah mengungkapkan bahwa lebih dari 85% faktor penyebab berbagai kecelakaan terkait dengan “Kesalahan manusia” atau lebih dikenal dengan istilah “Human Error”.
Oleh karena itu ilmu tentang Police Human Factors saat ini banyak diperkenalkan kepada aparat penegak hukum yang terkait dengan konsep manajemen risiko berbasis bukti yang sama yang digunakan oleh beberapa organisasi lain yang menuntut keandalan dan keakurasian yang tinggi.
Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan manusia yang bisa berakibat cedera, kehilangan nyawa, atau hilangnya kepercayaan masyarakat. Adagium mengatakan “To Err is Human”, artinya “Salah itu manusiawi”, namun demikian harus ada upaya – upaya yang signifikan untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya human error tersebut “.
Demikian penjelasan Komisioner Kompolnas RI Dede Farhan Aulawi ketika dimintai pendapatnya terkait masalah kemungkinan terjadinya Human Error dalam penegakan hukum. Hal itu dikatakannya saat media berkunjung ke kediamannya di kota Bandung, Senin 20 Januari 2020.
Selanjutnya Dede juga menyampaikan bahwa manusia itu memiliki kemampuan dan keterbatasan. Tidak ada manusia yang super, pasti satu sama lain ada kelebihan dan kekurangannya masing – masing.
"Oleh karena itu kalau bicara dalam membangun sistem, maka seluruh elemen yang terkait dengan sistem itu seyogyanya berjalan dengan baik, artinya harus terhindar dari kemungkinan adanya human error atau bias of interest," jelasnya.
Oleh karena itu berbagai upaya untuk menjamin tegaknya hukum yang lebih berkeadilan dan transparan, maka semua pihak yang terkait dalam upaya penegakan hukum harus secara kontinyu mengingatkan masalah human factors ini.
Dalam materi human factors akan dipelajari tentang bagaimana budaya organisasi memengaruhi perilaku, bagaimana mengidentifikasi bahaya aktif dan bahaya laten yang bisa menimbulkan kesalahan, bagaimana stres akut dan kronis mempengaruhi manusia, bagaimana rasa puas diri berkembang dalam diri individu dan organisasi.
Bagaimana melawan efek kelelahan (fatique), bagaimana meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh faktor – faktor perhatian, kesadaran situasional, dan skema / model mental.
"Juga dipelajari soal komunikasi yang lebih efektif, kepemimpinan, briefing dan de-briefing yang efektif, serta karakteristik organisasi berkinerja tinggi," kata Dede.
“Dengan memahami variabel – variabel sebagaimana disampaikan di atas, maka kita bisa melakukan langkah – langkah antisipatif untuk memperbaikinya sebelum kejadian itu terjadi. Ini yang biasa dikenal dengan sebutan Risk based Thingking. Termasuk melakukan perbaikan – perbaikan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan, baik yang bersifat kultur ataupun subkultur, sehingga safety culture tersosialisasi dengan baik. Termasuk kemauan untuk selalu belajar dari manapun, sehingga membudaya sampai terwujud apa yang disebut dengan learning culture establishment," tukasnya.
"Begitupun dengan manajemen stress agar bisa mengatasi stress akut dan kronis. Ditutup dengan kepemimpinan, komunikasi dan motivasi. Kemampuan merubah lingkungan yang de-motivated menjadi high motivated," urai Dede memberi penjelasan akhir.