Yahya Ansori (cuplikcom/ist)
Oleh : Yahya Ansori
(Wakil Sekretaris PCNU Indramayu)
Suatu hari saya didatangi teman saya, beliau adalah seorang PNS golongan 4B saat itu yang sudah mulai jengah dengan birokrasi yang harus loyal dengan penguasa yang bisa berbuat apa saja terhadap bawahannya. Ini terjadi kurang lebih 3 tahun yang lalu jauh sebelum OTT KPK di Indramayu. Beliau cerita tentang sang kepala dinas yang akan pindah menjadi dosen, dan beberapa rekaman audio tentang pembicaraannya dengan sang kepala dinas. Rekaman itu saya simpan, agar aman saya save ke google drive, dikemudian hari saya butuh itu sebagai bukti.
Beliau bercerita soal harapannya tentang perubahan Indramayu yang dia impikan adalah sebuah daerah yang demokratis, jauh dari intimidasi penguasa atas birokrat seperti dirinya. Dia juga cerita tentang pengalaman pengalamanya kritis terhadap pemerintah daerah yang berujung tragis. Lalu saya tanya kenapa kok anda datang ke saya?
Jawabannya membuat saya berfikir lama setelah beliau pulang, pak Nahdlatul Ulama adalah organisasi sosial kemasyarakatan terbesar di Indramayu, seharusnya NU bisa berbuat banyak untuk perubahan di Indramayu. Sebagai pengurus NU saya ragu saat itu, apa iya Nahdlatul Ulama bisa memobilisasi perubahan di Indramayu.
Setelah berjalannya sidang OTT KPK beberapa kali, saya tertarik untuk membuka rekaman itu kembali. Terutama soal kepatuhan sebagai bawahan terhadap atasan di Indramayu. Betapa proses pencairan uang di Bank Karya Mertua misalnya begitu mudah karena faktor kepatuhan tersebut.
Seorang guru takut pada kepala sekolah, kepala sekolah takut pada kepala dinas, kepala dinas takut pada bupati, dan bupati takut pada kepala bupati. “Sudahlah sebagai bawahan kritis boleh tapi 20 persen saja 80 persennya harus loyal” berikut kira-kira petikan pembicaraanya.
Kenapa banyak pihak ragu terhadap gagasan perubahan menuju Indramayu yang lebih demokratis adalah karena kepatuhan ini sistemik, rekan saya yang anggota DPRD pun mengatakan betapa sulitnya itu. Duitokrasi membuat kekuasaan begitu absolut. Duit menjadi instrumen penentu sebuah kemenengan dalam proses politik. Seperti ditemukan dalam fakta persidangan OTT KPK bupati Indramayu, dinas dinas tertentu menjadi lumbung uang kemudian uang itu digunakan untuk pemenangan pemilu.
Kekuasaan yang melayani mereka yang punya duit ini berujung petaka seperti dalam peristiwa OTT KPK. Pelayanan publik birokrat yang lebih mengutamakan mereka yang punya duit pun jauh dari nilai-nilai keadilan. Mereka yang bayar mahal buat KTP misalnya selesai cepat, sementara yang tidak bisa berbulan bulan. Mereka yang ingin mutasi dengan uang bisa diproses cepat, sementara yang tak loyal di buang jauh kemana penguasa suka.
Menurut saya gagalnya realisasi proyek APBD yang dibiayai Banprov 2019 ratusan milyar bukan soal kecil dan biasa biasa saja. Betapa kuwu kuwu sudah menemui pihak ini pihak itu atas sebuah panggilan kepatuhan, bahkan tak jarang itu bernilai rupiah yang besar. Tapi apa hendak dikata, jalan jalan yang seharusnya sudah di cor, kini justru tergenang air karena mall praktek kekuasaan. APBD adalah hak rakyat agar menerima manfaat dari pajak yang dia bayar. Dan itu gagal mereka terima karena mall praktik pengelolaan yang tak mengedepan asas pemerintahan yang bersih.
Maklumat Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama kemarin pada Harlah NU 94 adalah ikhtiar penyadaran bahwa tidak seharusnya kita diam dengan kepatuhan kepatuhan yang tidak masuk akal. Kita terus dicengkeram rasa takut yang seharusnya kita jauhkan. Mari terus kita kampanyekan agar semua pihak menyuarakan yang benar, baik birokrat, politisi, utamanya rakyat sebagai pemilik kekuasaan.
Kita berharap praktek penyelenggaraan pemerintahan kabupaten Indramayu menjadi bersih dari praktek AKAS (asal kanjeng senang) jauh dari korupsi dan nepotisme. Politik dinasti di Indramayu adalah nepotisme yang nyata, tapi hampir semua kita takut menyatakannya. Kebenaran nanti akan dibuktikan oleh sejarah, kita ingin tidak terjadi anarki atas kepatuhan kepatuhan yang tak masuk akal.[]