Sejauh ini, Indonesia seolah-olah hanya pantas menjadi produsen bahan baku timah. Bayangkan, per tahun, negara ini mengekspor timah sebesar 90 persen dari total jumlah produksi. Hal itu berbeda dengan China. Berperingkat sebagai produsen timah nomor satu di dunia, Negara tirai bambu itu justru memanfaatkan 90 persen timahnya untuk keperluan dalam negeri. "Strategi ekspor oriented itu tidak lebih dari sebuah jebakan yang diberikan sebuah teori pembangunan ekonomi yang akhirnya memenjarakan negara-negara berkembang seperti Indonesia," ujar Direktur Eksekutif Econit Advisory Group, Henri Saparini di Jakarta, (25/03) lalu.
Menurut Henri, sudah sepatutnya paradigma tentang sumber daya alam diubah. Sebagaimana migas, selama ini timah hanya dijadikan sebagai salah satu komoditas, bukan modal strategis pembangunan. "Perlu diingat, yang memiliki sumber daya alam itu bukan hanya Indonesia," kata Henri. Jadi sudah selayaknya pemerintah tidak cepat terbuai seolah-olah kekayaan Negara ini cukup di dapat dengan cara mengekspor sumber daya alam.
Ya, kita harus berkaca dari China. Negara itu mampu memanfaatkan batu bara sehingga bisa menyediakan energi murah untuk industri dan rumah tangga. Bila pemerintah bisa menempatkan sumber daya alam timah hanya sebagai salah satu komoditas, bukan dijadikan sebagai modal strategis pembangunan, maka hal itu juga akan terjadi pada sumber daya alam yang lain. "Tentu saja ini menjadi tugas yang sangat besar bagi pemerintah," tukas Henri.
Sebagai salah satu negara yang kaya, China tidak pernah mendorong pertumbuhan ekonomi lewat ekspor sumber daya alam. Negara itu memanfaatkan sumber daya alam untuk memproduksi energi semurah-murahnya, sehingga bisa memproduksi barang-barang manufaktur dan mendorong pertumbuhan ekonomi dari ekspor produk jadi. Namun di Indonesia, strategi ekspor oriented seolah-olah tidak boleh diotak-atik. Padahal, hal itu hanya memberikan manfaat yang kecil.
Selain membatasi ekspor, dibutuhkan adanya dukungan kebijakan industri dan perdagangan dari pemerintah. Sebenarnya RUU pengembangan industri atau RUU Industrialisasi sudah disahkan kepada DPR sejak tahun 2005. "Namun hingga hari ini belum dibahas secara serius," terang Henri. Sebab, UU Penanaman Modal sudah disahkan terlebih dahulu. Beleid investasi ini tidak menjelaskan mengenai pembatasan sektor-sektor secara tegas. Dukungan itu diharapkan dapat memunculkan satelit-satelit ekonomi baru.
Untuk beberapa kalangan di Indonesia yang menggunakan paradgma pasar bebas, ini juga menganggap seolah-olah telah merubah tatanan tadi dengan mengurangi ekspor digunakan untuk produksi dalam negeri merupakan suatu yang menakutkan. Menurut mereka tatanan global tidak bisa diubah. Ingat, yang menjadi referensi Indonesia bukanlah tatanan global. Yang menjadi referensi adalah UUD 1945, dalam arti bagaimana konstitusi mengatur ekonomi nasional. "Jadi kita sudah salah kaprah," Mengapa kita jadi harus memikirkan orang lain, bukan memikirkan apa yang bisa kita peroleh sendiri.
Sementara, pakar hukum pertambangan Ryad Chairil menilai Pemerintah masih lemah dalam mengatur industri timah. Dia mengusulkan agar ada kolaborasi antara PT Timah (Persero) dan PT Koba Tin. Namun dia tidak sepakat dengan pendapat yang mengatakan agar PT Koba Tin dideterminasi saat ini. Soalnya, kata Ryad, bagaimanapun juga pemerintah terikat dengan konsep kontrak yang harus dihormati.
Lalu bicara soal royalty. Menurut Ryad, royalty merupakan suatu konsep yang dipaksakan masuk ke Indonesia. Konsep itu sama sekali tidak sesuai dengan ketentuan UUD 1945, yang menganut faham production sharing alias bagi hasil.