"Tujuan tindakan affirmative adalah mendorong jumlah perempuan lebih banyak di parlemen. Sehingga menggantinya dengan 'suara terbanyak' adalah identik dengan menafikkan tindakan affirmative tersebut," jelas Maria.
Sebagian besar perempuan khususnya yang berkiprah langsung di kancah politik tentunya memiliki pendapat yang sama dengan Maria. Anggota Komisi III Nursjahbani Katjasungkana, misalnya, menegaskan bahwa keberadaan affirmative action dalam sebuah negara sangatlah penting. Perkembangan global terkini bahkan menunjukkan affirmative action dianut banyak negara di dunia. Nursjahbani menyebut tidak kurang dari 109 negara.
"Karena pada prakteknya di 109 negara, bahwa dengan affirmative action proses demokrasi dan tingkat kesejahteraan jauh lebih cepat, misalnya terjadi zero aborsi, zero kekerasan dalam rumah tangga," ujar Nursjahbani.
Makanya, Anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa ini sangat berharap dikeluarkannya Perpu terkait affirmative action ini. Menurut Nursjahbani, nasib perempuan dipegang oleh presiden. "Makanya kami (aktivis perempuan, red) memohon perlindungan kepada presiden dengan dimasukkannya affirmative action ini ke dalam Perpu," katanya.
Namun begitu, ia khawatir jika Perpu dikeluarkan sekarang, akan terbentur masalah waktu. Hal ini sesuai dengan Pasal 25 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa Perpu harus diajukan ke DPR pada persidangan berikutnya. Sebagaimana dipaparkan Ketua DPR Agung Laksono saat pembukaan masa persidangan III pada 19 Januari lalu, masa persidangan III akan berakhir 6 Maret 2009. Dipotong masa reses, dari 7 Maret sampai 26 April 2009, maka 26 April baru dimulai kembali masa persidangan berikutnya.
"Ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, jika Perpu diterima oleh DPR, masalah yang timbul adalah tidak kuorumnya anggota yang hadir dalam paripurna karena menjelang pemilu. Kedua, Perpu ini ditolak, secara otomatis Perpu tersebut tidak berlaku, bisa dengan diubah menjadi rancangan undang-undang, namun ini harus melewati pembahasan waktu yang lama," ujarnya.
Direktur Penelitian Women Research Institute Edriana Noerdin memandang Perpu ini bisa mengobati luka aktivis perempuan gara-gara putusan MK mengenai suara terbanyak. Menurut Edriana, putusan MK jelas mengecewakan para calon legislatif dari kalangan perempuan. Apalagi, tidak sedikit aktivis perempuan yang mendaftar caleg diletakkan dalam nomor jadi. "Kami aktivis perempuan merasa dikhianati, putusan MK ini melukai hati aktivis perempuan yang selama ini susah payah menggolkan pasal afirmasi UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD," ujarnya.
Catatan negatif
Dosen Fisip UI Ani Soetjipto mengatakan Perpu ini adalah harapan terakhir bagi aktivis perempuan. Ani sangat berharap, kalangan perempuan tidak mengalami kekecewaan yang sama. "Kekecewaan kami yang pertama, pada saat disahkannya UU pornografi beberapa waktu lalu, dan jika ini kalah juga saya yakin akan tambah catatan negatif buat pemerintah," ujarnya.
Ketentuan affirmative action, menurut Ani, adalah jaminan hukum terhadap peluang terpilihya perempuan dalam pemilu legislatif. Jika gagal terakomodasi, maka otomatis jumlah perempuan terpilih di DPR dan DPRD akan berkurang.
"Negara dan parpol mempunyai tanggung jawab dan komitmen untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam institusi pengambilan keputusan dan terikat dengan beragam target nasional maupun internasional," katanya. Ani melihat perpu affirmative action sebagai peluang bagi Presiden SBY untuk memikat hati pemilih dari kalangan perempuan yang mencapai 57 persen.