Peneliti dari University of Cambridge dan Toronto, melaporkan 1.295 komputer di 103 negara menjadi korban hacker alias peretas dari China selama dua tahun belakangan ini. Mereka menyusup ke email, mengambil alih puluhan komputer dan menggunakannya untuk mengawasi perusahaan, individual, dan pemerintahan.
Sistem yang disebut GhostNet ini ‘menyerang' pemerintahan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Beberapa pihak mengkhawatirkan China akan menjadi pelopor yang kemudian diikuti sejumlah negara lain.
"Apa yang dilakukan peretas China selama 2008, akan dilakukan peretas Rusia pada 2010. Bahkan, para penjahat cyber di negara yang tak terlalu berkembang dan miskin akan mengikuti langkah ini," demikian kesimpulan bertajuk The Snooping Dragon: Social Malware Surveillance of the Tibetan Movement dari peneliti Cambridge.
Selama 10 bulan mereka mendeteksi komputer sejumlah Deplu yang berhasil disadap hacker China termasuk Indonesia dan Iran. Komputer Kedutaan Besar India, Korea Selatan, Taiwan, Portugal, Pakistan bahkan Jerman juaga mengalami serangan serupa.
Jubir Deplu RI Teuku Faizasyah menyangkal telah terjadi pembobolan komputer di departemennya. "Tak ada indikasi hal ini telah terjadi. Kalaupun ada, hacker biasanya hanya masuk dan mengubah tampilan saja," ujar Faiz, saat dihubungi INILAH.COM, Senin (30/3).
Faiz menyatakan, para peretas itu tidak sampai masuk ke dalam jaringan sistem komputer. Ia yang baru mendengar kabar aktivitas intel China itu mengatakan, jaringan Deplu dikelola sendiri dan sejauh ini tidak ada hal yang mengkhawatirkan.
"Peristiwa seperti ini memang pernah terjadi dan bermula sejak 1990-an, namun tak ada yang perlu dikhawatirkan. Mereka hanya menyentuh dan mengubah tampilan laman web saja," ujarnya.
Sementara pemerintah China hingga saat ini belum mengeluarkan pernyataan atas tudingan ini. Di laporan bertajuk Tracking GhostNet disebutkan untuk melacak aksi spionase di dunia elektronik tak mudah.
Ronald Deibert yang ikut menulis laporan itu menyatakan apa yang terjadi di dunia maya harus dikuak dengan hati-hati. Sebab, tak bisa diketahui secara pasti pihak mana yang benar-benar terlibat.
"Ini bisa saja kerjaan CIA atau Rusia, dunia maya penuh dengan ketidakpastian," katanya seperti dikutip guardian.co.uk, Senin (30/3). Serangan itu sebenarnya cukup sederhana. Peretas mengirim e-mail terinfeksi yang biasanya dengan attachment atau link ke sebuah situs tertentu.
Saat dibuka, tanpa disadari file yang di-attach atau link yang diklik itu menyuntikkan virus ke komputer. Dengan virus itu, para peretas dapat mengoperasikan komputer dan mengendalikannya.
Mereka bisa memindahkan file, termasuk menerima dan mengirim data. Hebatnya, hacker juga bisa menyalakan kamera dan mikrofon komputer yang terinfeksi sehingga bisa dimanfaatkan sebagai alat penyadap.
Penyelidikan ini dimulai sejak periset Toronto diminta untuk memeriksa komputer di kantor Dalai Lama. Mereka mendapati komputer di kantor musuh China itu terinfeksi virus berupa malware. Penyelidikan sampai ke sumber infeksi, yakni sekelompok server di Pulau Hainan, lepas pantai China.
Server lainnya terletak di kawasan otonomi China, Xinjiang Uyghur dimana unit intelijen yang mengawasi Tibet bermarkas. "Kami menemukan bukti malware real-time, dipenetrasikan ke komputer di Tibet. Malware ini mengambil data dokumen sensitif dari kantor pribadi Dalai Lama," tutur seorang periset Greg Walton.