Kendati sempat molor dua minggu dari yang dijadwalkan, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) akhirnya mengumumkan hasil ujian advokat. Melalui Surat Keputusan Panitia Ujian Profesi Advokat (PUPA) Nomor: KEP.050/PUPA-PERADI/2009, sebanyak 1.323 dinyatakan lulus ujian advokat yang diselenggarakan pada Sabtu 6 Desember 2008 lalu.
Ketua PUPA Thomas E Tampubolon mengatakan meski mengalami penurunan jumlah peserta, pelaksanaan ujian kali ini cukup berjalan dengan baik. Kendala yang sering ditemui hanya perilaku mencontek. "Jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang jumlahnya puluhan. Tahun ini pelanggaran masih di bawah sepuluh," ujar Thomas. "Ini menunjukkan semakin tumbuh tingkat kesadaran peserta ujian."
Ujian saat itu dilaksanakan secara serentak di 19 kota yang mewakili seluruh Indonesia. Lebih banyak jika dibandingkan ujian tahun sebelumnya yang digelar di 16 kota. Hal ini terkait penambahan jumlah kota yang sult dijangkau peserta ujian di kota terdekat. Penambahan kota yang dimaksud adalah Aceh dan Papua.
Lebih lanjut Thomas memaparkan data, dari 3.665 peserta ujian yang hadir dan berhasil lulus hanya 35,9% atau 1.323 orang. "Sebenarnya peserta yang mendaftar sebanyak 3.820, namun yang hadir hanya 3.665 orang," ujarnya.
Tingkat kelulusan ujian tahun ini, papar Thomas, lebih tinggi daripada ujian advokat yang diselenggarakan pada 8 Desember 2007 lalu yang hanya 31% atau 1.659 dari 5.474 orang yang mengikuti ujian. Hal ini disebabkan banyak peserta ujian yang benar-benar mempersiapkan diri.
Dari segi kuantitas, jumlah peserta ujian tahun 2007 lebih tinggi daripada tahun 2008. Meski demikian prosentase tingkat kelulusan ujian advokat tahun 2008 menduduki angka tertinggi jika dibandingkan tahun 2006 dan 2007.
Prosentase Tingkat Kelulusan Ujian Advokat
Periode 2006-2008
Waktu Ujian | Jumlah Peserta | Prosentase Kelulusan |
4 Februari 2006 | 6.500 | 30,4% |
9 September 2006 | 3.404 | 17,4% |
8 Desember 2007 | 5.474 | 31% |
6 Desember 2008 | 3.665 | 35,9% =1.323 |
Meski demikian, Thomas mengakui masih banyak peserta yang dinyatakan tidak lulus. Mayoritas dari mereka berasal dari kota-kota di luar Jakarta. "Memang secara umum di luar Jakarta banyak peserta yang mengulang, tapi prosentasenya saya gak begitu hafal," tukasnya.
Keluhan bagi mereka yang tidak lulus (mengulang), kata Thomas, umumnya seputar transparansi, khususnya menyangkut tidak diumumkannya hasil nilai ujian. "Sejauh ini transparansi kita bertanggung jawab pada pengurus Peradi. Bagi yang tidak puas dan ingin melihat nilai ujian barangkali bisa kita pertimbangkan," ujar Thomas. Namun papar Thomas, tidak sedikit dari mereka yang menyadari ketidaklulusannya karena tidak siap.
Soal standar kelulusan, lanjut Thomas, pihaknya sebenarnya mematok minimal nilai 6.5 yang dipersamakan 7.0. Artinya, pihaknya tetap memberitahukan kepada peserta ujian bahwa nilai passing grade adalah 7.0. Jika kurang dari itu dinyatakan tidak lulus. Namun jika kenyataannya peserta ujian nilainya mencapai minimal 6.5 yang bersangkutan masih dapat diluluskan. "Masih ada kebijaksanaan," katanya.
Selain itu, Thomas memaparkan soal bobot penilaian ujian untuk materi multiple choice (pilihan berganda) dan essay. Soal pilihan berganda bobot nilainya sebesar 70%. Sedangkan untuk soal essay bobotnya sebesar 30%. Sementara, penilaian essay dilakukan sendiri oleh Peradi. Untuk penilaian soal pilihan berganda diserahkan ke lembaga outsourcing yang dilakukan secara computerized. Selanjutnya, hasil akhir keseluruhan diserahkan sepenuhnya kepada outsourcing untuk mengumumkan peserta yang dinyatakan lulus.
Ketika dimintai tanggapannya, salah seorang peserta yang tidak lulus ujian. Adi, bukan nama sebenarnya, mengaku tidak kecewa atas ketidaklulusannya. Pasalnya, selain karena tidak fit saat ujian berlangsung, juga mengaku tidak siap.
Soal transparansi, Adi menilai hal yang wajar bagi setiap peserta ujian untuk menuntut tranparansi dari pihak penyelenggara. "Dari mulai menuntut terkait masalah penilaian, passing grade, hingga kunci jawaban, itu hal yang logis," ujarnya. Menurutnya, tidak diumumkannya hasil nilai ujian merupakan hal yang masuk akal. Ia mencontohkan pelaksanaan Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) yang juga menerapkan hal yang sama. "Mereka (PUPA) pasti punya pertimbangan yang matang, terlebih pengumuman ujian advokat," dalihnya.
Denpasar Tertinggi
Apabila dilihat dari prosentase, daerah yang memiliki tingkat kelulusan tertinggi ujian tahun 2008 ini dipegang oleh Denpasar. Dengan tingkat kelulusan sebesar 44% dari jumlah peserta yang mengikuti ujian. Kemudian disusul kota Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Semarang. Namun dari segi jumlah peserta yang mengikuti ujian tetap didominasi oleh Jakarta sebanyak 2.001 peserta. "Ini membuktikan kota-kota besar di Indonesia masih mendominasi karena akses informasi lebih besar yang menjadi faktor," ujar Thomas.
Lima Kota Besar dengan Tingkat Kelulusan Tertinggi
Kota | Prosentase |
Denpasar | 44% |
Jakarta | 42,13% |
Yogyakarta | 35% |
Surabaya | 34,26% |
Semarang | 31% |
Faktor lainnya, menurutnya, Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), terutama yang menyangkut kualitas tenaga pengajar. "Para pengajar PKPA-nya mungkin kurang qualified. Telebih kita sendiri (Peradi) belum punya standardisasi tenaga pengajar," ujarnya. Ia mencontohkan kota Makassar yang tingkat kelulusannyan hanya 14,3% dari 56 peserta. Padahal soal ujiannya standar. "Sudah sedikit pesertanya yang lulus hanya 8 orang, padahal soal ujiannya standar, ini terlalu kecil," keluhnya.
Soal tenaga pengajar, Adi pun mengkritik soal pelaksanaan PKPA selain materi sangat mendasar, penyampaian dari tenaga pengajarnya pun kurang efektif dan efisien. "Mereka (tenaga pengajar) punya waktu sangat terbatas," ujarnya.
Meski hal ini menjadi kewenangan Komisi Pendidikan Profesi Advokat Indonesia (KP2AI). Menurut Thomas ke depan perlu dievaluasi PKPA-nya, terutama keperluan adanya sertifikasi bagi tenaga pengajar dan mengevaluasi apakah nama-nama tenaga pengajar di PKPA bener-bener mengajar? "Misalnya profesor A atau B. Ini akan menjadi perhatian kita," tukasnya.