Tersangka Ruslan Buton Saat Dijemput Oleh Petugas Gabungan Mabes Polri (Ade Lukman/Cuplikcom)
Cuplikcom - Jakarta - Pecatan TNI Ruslan Buton, sekaligus tersangka kasus ujaran kebencian kini ditahan di Rumah Tahanan Bareskrim selama 20 hari ke depan sejak Jumat (29/5/2020) hingga 17 Juni 2020.
"Ya, sudah ditahan di rutan Bareskrim," ucap Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono saat dikonfirmasi, Sabtu (30/5/2020).
Kuasa hukum Ruslan Buton, Tonin Tachta Singarimbun mengatakan surat penangguhan penahanan bagi kliennya itu sudah diajukan ke penyidik dan Direktur Siber Bareskrim Mabes Polri.
Melalui keterangan persnya yang diterima Cuplik.com Minggu (31/5/2020) Tonin mengungkap alasan kubuhnya mengajukan penangguhan penahanan.
"Mengapa penangguhan penahanan diperlukan karena penyidik mengetahui keberadaan kliennya di Buton. Selain itu, orang tua klien kami juga sedang sakit," tutur Tonin.
Tidak hanya orang tua, diungkap Tonin, istri Ruslan Buton juga sakit dalam keadaan kritis di Bandung, Jawa Barat.
"Sehingga dengan rasa kemanusiaan sepatutnya penangguhan bisa diberikan. Penyidik juga mengetahui klien kami kooperatif dan tidak dikhawatirkan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti serta mengulangi tindak pidana. Apalagi penjaminnya adalah beberapa purnawirawan, istri dan penasihat hukumnya," tambah Tonin.
Dihubungi terpisah, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai, Mabes Polri harus segera membebaskan mantan anggota TNI AD Ruslan Buton yang ditangkap karena meminta Jokowi mundur melalui video yang sempat viral.
"Sebab apa yang dituduhkan Polri kepada Ruslan tidak mempunyai dasar hukum yang jelas dan hanya menunjukkan sikap parno jajaran kepolisian yang tidak promoter " kata Neta dalam keterangan tertulisnya, Minggu (31/5/2020).
Neta menuturkan, Ruslan hanya sebatas menyatakan aspirasi dan penyampaian aspirasi seorang rakyat dijamin oleh UUD 55. Menurutnya, Polri boleh saja menangkap Ruslan namun hanya sebatas mengingatkan
"Polri boleh menangkap dan memeriksa Ruslan, lalu mengingatkannya, untuk kemudian melepaskannya," tuturnya.
Neta menambahkan, langkah Polri yang menangkap dan tidak melepaskan Ruslan terlalu paranoid dengan mengenakan pasal-pasal itu terhadap Ruslan.
Polri lupa dengan kebebasan menyampaikan aspirasi yang dijamin UUD 45. Ruslan sebatas menyatakan aspirasi dan mengingatkan serta tidak tindakan pidana ada ajakan untuk membuat tindakan pidana yang dilakukannya.
"Sebab itu tindakannya itu belum dapat dikualifikasi sebagai sebuah tindak pidana, apalagi membuat kehonaran. Begitu juga mengenai pasal informasi bohong yang disangkakan polisi terhadap Ruslan, menjadi pertanyaan, dimana bohongnya?," kata Neta.
Menurut Neta pernyataan Ruslan tidak bisa serta merta memberhentikan Jokowi jadi presiden. Ia menjelaskan pemberhentian presiden sudah diatur UUD 1945 dengan memenuhi lima persyaratan.
"Pertama jika terlibat korupsi. Kedua, terlibat penyuapan. Ketiga, pengkhianatan terhadap negara. Keempat, melakukan kejahatan dengan ancaman lebih dari lima tahun, kelima kalau terjadi keadaan di mana tidak memenuhi syarat lagi," jelasnya.
"Di luar itu, membuat kebijakan apapun, Jokowi tidak bisa diberhentikan di tengah jalan, apalagi hanya membuat kebijakan mengatasi Covid-19," tutupnya.
Sebelumnya, seorang pecatan TNI Ruslan Buton ditangkap setelah membuat heboh dengan surat terbuka yang meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mundur. Ruslan ditangkap di kediamannya di Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra).Dalam rekamannya, dia mengkritisi kepemimpinan Jokowi. Menurut Buton, solusi terbaik untuk menyelamatkan bangsa Indonesia adalah bila Jokowi rela mundur dari jabatannya sebagai Presiden.
"Namun bila tidak mundur, bukan menjadi sebuah keniscayaan akan terjadinya gelombang gerakan revolusi rakyat dari seluruh elemen masyarakat," tutur dia, dalam rekaman suaranya.
Dari hasil pemeriksaan awal, dian mengaku rekaman suara yang meminta Jokowi mundur itu adalah suaranya sendiri. Usai merekam suara, dia kemudian menyebarkannya ke grup WhatsApp Serdadu Eks Trimatra hingga akhirnya viral di media sosial. Buton merupakan mantan perwira menengah TNI AD di Batalion Infantri Raiders Khusus 732/Banau di wilayah kerja Korem 152/Baabullah di Jailolo, Maluku Utara, dengan pangkat terakhirnya kapten dari Korps Infantri. Ketika menjabat sebagai komandan kompi sekaligus komandan Pos Satgas SSK III Batalion Infantri Raiders Khusus 732/Banau, dia terlibat dalam kasus pembunuhan La Gode pada 27 Oktober 2017.
Pengadilan Militer III/18 Ambon memutuskan hukuman satu tahun 10 bulan penjara dan pemecatan dia dari dinas aktif TNI AD pada 6 Juni 2018 lalu.
Setelah dipecat, dia membentuk kelompok mantan prajurit TNI AD, TNI AL, dan TNI AU, yang disebut Serdadu Eks Trimatra Nusantara. Di kelompok ini, dia mengaku sebagai panglima Serdadu Eks Trimatra Nusantara.
Ruslan Buton dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dilapis dengan Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana enam tahun dan atau Pasal 207 KUHP, dapat dipidana dengan ancaman penjara dua tahun.