Pengacara Denny Indrayana (Cuplik.com/ Ade Lukman)
Cuplikcom - Jakarta - Ramai- ramai ingin memakzulkan Presiden Jokowi di tengah Pandemi Covid-19 diakui sulit oleh Advokat Denny Indrayana, pasalnya, selain syaratnya yang sulit dipenuhi, pemerintahan Jokowi didukung oleh mayoritas partai politik di parlemen.
"Di sini saja prosesnya sudah berat, dengan oposisi yang tinggal PKS dan Partai Demokrat, bisa kita duga (usulan pemakzulan) akan ditolak oleh DPR. Jadi baru langkah pertama saja presiden sudah aman," kata Denny dalam diskusi daring 'Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Masa Pandemi Covid-19', Senin, (1/6/2020).
Denny menjelaskan Pasal 7A UUD 1945 mengatur presiden bisa diberhentikan oleh MPR atas usul DPR jika terbukti melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau melakukan perbuatan tercela. Sebabnya tahapan pertama pemakzulan ada di tangan DPR.
Tidak berhenti di DPR, kata Denny tahapan berikutnya mengajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili tindak pidana yang dilakukan presiden. Ada tiga kemungkinan di sini: usulan ditolak, tidak dapat diterima, dan mendengarkan pendapat DPR.
Jika MK ternyata menyatakan presiden melakukan tindak pidana, maka tahapan berikutnya adalah sidang MPR.
"Di MPR belum tentu juga diberhentikan. Bisa saja keputusan MK itu dianulir MPR," tutur Denny.
Denny menambahkan, pemakzulan presiden terganjal oleh syarat kuorum di DPR dan MPR yang diatur dalam Pasal 7B ayat 3 UUD 1945. Pengajuan pemakzulan di rapat paripurna DPR mensyaratkan harus mendapat dukungan dan dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga anggota.
Syarat kuorum ini pun semakin berat jika nantinya pemakzulan Presiden dibawa ke sidang paripurna MPR. UUD 1945 mengatur pemberhentian presiden di sidang MPR bisa dilakukan jika dihadiri tiga perempat anggota MPR dan disetujui dua pertiga anggota.