Permohonan uji materiil (judicial review) enam notaris terhadap Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, kandas. Mahkamah Agung menolak lantaran Permenkumham itu tidak bertentangan dengan UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Majelis hakim yang diketuai Ahmad Sukardja serta beranggotakan Marina Sidabutar dan Imam Soebechi menyatakan permohonan keberatan pemohon tidak beralasan, dengan demikian harus ditolak. Putusan itu diketuk pada September 2008 lalu. Sebelumnya, permohonan diajukan notaris Habib Adjie, Jusuf Patrianto Tjahjono, Pandam Nurwulan, Ediwarman Gucci, M.J. Widijatmoko dan Tuti Sudiarti, pada April 2008 lalu.
Menurut majelis, Permenkumham dilahirkan untuk kepentingan proses peradilan. Dalam Permenkumham itu dijelaskan persyaratan yang harus dipenuhi aparat hukum untuk memanggil notaris dan mengambil munita akta dan selalu melibatkan peran Majelis Pengawas Notaris Daerah (MPD). Yakni, antara lain tenggat waktu 14 hari buat MPD untuk memberikan atau tidak menyetujui pemanggilan notaris.
Majelis menilai tenggat waktu itu justru memberikan kepastian hukum sehingga proses perkara atau persidangan tidak barlarut-larut. "Sesuai dengan azas equaility before the law dan maksud dari proses peradilan, persidangan dan putusan pengadilan a quo, maka para notaris harus mematuhinya," ujar majelis dalam putusannya.
Saat ditemui di kantornya pekan lalu, Widijatmoko menyatakan putusan itu menunjukan semua peraturan menteri yang tidak diatur dalam Undang-Undang sah. "Kita tidak melihat menang dan kalahnya, tapi melihat pada pembangunan hukum. kalau begitu DPR tidak usah memerintahkan pemerintah untuk membuat peraturan pemerintah," ujarnya.
Dalam permohonannya, para notaris mendalilkan Permenkumham tersebut tidak mengikat sebab pembentukannya tidak diperintahkan oleh UU Jabatan Notaris. Pasal 66 UU Jabatan Notaris hanya mengatur penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil minuta akta dan memanggil notaris atas persetujuan majelis pengawas.
Sementara, dalam Permenkumham ditentukan batas waktu 14 hari buat MPD untuk memberikan persetujuan atas permintaan aparat hukum. Jika tidak ada jawaban dalam tenggat waktu itu, MPD dianggap menyetujui. Selain itu, notaris ditempatkan sebagai pihak dalam akta di perkara pidana. Padahal menurut Pasal 38 ayat (3) huruf c UU Jabatan Notaris ditegaskan, isi akta merupakan kehendak dari para pihak yang berkepentingan. Akta notaris sendiri ditempakan sebagai bukti materiil dari suatu tindak pidana. Artinya akta notaris dibuat untuk melakukan suatu tindak pidana. Menurut pemohon, seharusnya akta notaris tempatkan sebagai bukti formil saja.
Beberapa waktu lalu, Dirjen Administrasi Hukum Umum Depkumham, Syamsudin Manan Sinaga, pernah menghimbau para notaris agar tidak sembarangan mengeluarkan akta pendirian Perseroan Terbatas (PT). Menurut Syamsudin, kemungkinan uang hasil kejahatan dicuci dengan cara membeli saham di perseroan. Notaris selaku pencatat besaran modal dan saham dalam akta PT menjadi ujung tombak dalam menyaring pendirian perseroan yang mencurigakan. "Jika ada transaksi yang mencurigakan hati-hati. Jangan gampang membuat akta," ujar Syamsudin.
Menteri Hukum dan HAM dalam jawabannya menyatakan Permenkumhan itu justru untuk memberikan kepastian hukum atas Pasal 66 UU Jabatan Notaris. Dalam pasal tersebut tidak diatur secara rinci jangka waktu dan mekanisme pemanggilan notaris dan pengambilan minuta akta. Hal itu menyulitkan penyidik untuk memeriksa notaris, sehingga memunculkan kesan notaris sebagai lembaga super body yang tidak bisa diusik.
Pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang berkewajiban untuk membuat peraturan pelaksanaan atas suatu peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi ketidak jelasan penerapan Undang-Undang. Peraturan pelaksanaan itu mengikat bagi siapa saja yang terkait dengan undang-undang yang belum jelas itu.