MAGETAN: Batik khas Magetan, Pring Sedapur, di sentra Batik Mukti Lestari, Desa Sidomukti, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, sulit berkembang, akibat kalah bersaing dengan batik dari daerah lain seperti batik Solo dan Pekalongan.
Ketua Kelompok Perajin Batik Mukti Lestari, Deby Dyah Retno, Kamis, mengatakan, keberadaan batik khas Magetan dengan motif pring sedapur dari tahun ke tahun semakin terpuruk di tingkat pasar lokal, akibat masuknya batik Solo dan Pekalongan.
"Meski batik pring sedapur telah diakui oleh pemerintah daerah setempat sebagai batik khas Magetan, namun terus terang perhatian dari Pemkab Magetan sendiri dinilai masih kurang, sehingga kami sulit berkembang," katanya mengeluh.
Menurut dia, bentuk perhatian dari Pemkab Magetan sempat diwujudkan dengan pemesanan seragam bagi pegawai negeri sipil (PNS) dari beberapa instansi pemerintah.
"Meski pesanannya tidak banyak, namun cukup membuat kami bertahan, waktu itu," katanya.
Hingga akhirnya, pada tahun 2006 lalu, Pemkab Magetan menginstruksikan semua pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungannya memakai baju batik khas Magetan, Pring Sedapur.
Namun, ironisnya, instruksi tersebut tidak diikuti dengan order sebanyak 15.000 helai kain dari Pemkab Magetan ke Kelompok Perajin Batik Magetan di Desa Sidomukti.
Malahan, Pemkab Magetan telah memesan seragam batik bagi seluruh karyawannya dengan motif khas Magetan tersebut ke Solo, Jawa Tengah.
"Alasannya, kami dinilai tidak mampu memenuhi order sebanyak itu dengan teknik batik kami yang masih batik tulis. Apapun alasannya, paling tidak, kami merasa tidak diprioritaskan. Apalagi motif seragam yang dipesan ke Solo tersebut merupakan motif asli daerah yang kami ciptakan sendiri," katanya.
Meski demikian, pihaknya tidak dapat berbuat banyak. Untuk bisa bertahan, ia dengan anggota lainnya tetap berproduksi meski dengan skala kecil.
"Produksi besar-besaran baru dilakukan jika ada pesanan. Itupun sudah sangat jarang. Bahkan untuk memasarkannya, kami terpaksa harus memakai sistem dari rumah ke rumah. Tujuan kami hanya satu, agar aset daerah Magetan ini tidak punah," katanya menerangkan.
Deby menambahkan, seiring dengan berjalannya waktu, jumlah anggotanya tidak bertambah banyak, sebaliknya malah terus berkurang. Jika dulu, awal kelompok perajin batik yang terdiri dari dua kelompok ini didirikan pada tahun 2000 beranggotakan 60 orang, kini hanya tinggal 50 orang untuk masing-masing kelompok.
"Banyak yang beralih menjadi petani. Karena jika hanya mengandalkan sebagai seorang perajin, tidak mencukupi dari segi ekonomi," katanya menegaskan.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Magetan, Suko Winadi, menyatakan penolakannya, jika Pemkab Magetan tidak ada perhatian terhadap kelompok perajin batik khas Magetan ini.
"Perhatian telah kami wujudkan dengan serangkaian bantuan yang diberikan kelompok perajin. Mulai dari bantuan modal pada tahun 2002 dan 2004 lalu dan alat lainnya. Meski belum dapat diberikan setiap tahunnya, namun pemkab setempat telah ada aksi," katanya.
Menurut Suko, bantuan terbaru yang diberikan pemkab kepada anggota kelompok perajin adalah pemberian satu paket alat produksi batik cap senilai Rp110 juta.
"Alat tersebut terdiri dari mesin ’padder’ (pewarna kain), ’blower’ (pengering), bak penampungan, alat cap, loyang, dan pengolahan limbah," katanya menerangkan.
Dengan diberikannya bantuan tersebut, diharapkan agar batik khas Magetan mampu bersaing di tingkat pasar lokal.
"Bantuan tersebut untuk meningkatkan kemampuan produksi kecil menjadi menengah. Sehingga order bisa bertambah dan tidak fokus pada batik tulis saja," katanya.