Peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober 2019 lalu (Cuplik.com/ M.Riko Indrianto)
Cuplikcom - Jakarta- Hari Santri Nasional 22 Oktober tahun 2020 ini, tak lepas dari janji kampanye Presiden Jokowi pada Pilpres 2014 silam. Kontroversi soal dikotomi santri-nonsantri pun sempat mencuat, Perayaan Hari Santri ditetapkan berdasarkan waktu penerbitan deklarasi Resolusi Jihad yang digagas oleh tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Asy'ari pada tahun 1945.
Penetapan hari khusus itu pun telah direstui Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan meneken Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 sebagai Hari Santri Nasional. Upaya Jokowi saat itu dinilai sebagai pemenuhan janji kampanyenya dalam Pilpres 2014.
Seperti diketahui, tonggak sejarah Perayaan Hari Santri Nasional (HSN) ditetapkan atas kesepakatan sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam pada pertemuan di Hotel Salak, Bogor, Jawa Barat 22 Oktober 2015.
Ormas Islam yang hadir saat itu beberapa di antaranya, Al Irsyad, Persatuan Islam, Muhammadiyah (Sekretaris Umum Abdul Mu'ti), MUI (Ketua Umum KH Ma'ruf Amin), PBNU (Ketua Umum Said Aqil). Selain ormas, ada juga sejarawan dan pakar Islam, seperti Azyumardi Azra.
Dari pertemuan itu, muncul gagasan 22 Oktober menjadi Hari Santri Nasional, setelah sebelumnya pemerintah mengusulkan Hari Santri Nasional diperingati pada 1 Muharram atau Tahun Baru Islam, yang kemudian mendapat penolakan usul dari beberapa Ormas Islam.
Salah satu ormas yang tidak menandatangani kesepakatan itu adalah Muhammadiyah. Menurut Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, salah satu wakil Muhammadiyah saat itu, Din Syamsuddin, beralasan penetapan hari santri rentan memicu polarisasi antara santri dan non-santri, dan sempat berkirim surat ke Presiden Jokowi.
Menurut Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, santri tak dimaksudkan hanya untuk alumni pesantren, tapi lebih pada persoalan berakhlak seperti santri.
Ketua Asosiasi Pesantren NU Abdul Ghoffar Rozien mengakui penetapan Hari Santri Nasional itu sempat mengalami perdebatan. Namun, mayoritas yang hadir dalam pertemuan tersebut sepakat Hari Santri Nasional ditetapkan pada 22 Oktober.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), santri bermakna orang yang mendalami agama Islam, orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh, orang yang saleh.
Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM Mada Sukmajati menyebut, dalam artian sempit, santri bisa berarti mereka yang menggunakan simbol kultural seperti peci, songkok, atau sarung yang erat dengan kalangan Nahdlatul Ulama (NU) alias nahdliyin.
Namun, tukasnya, "Bila santri didefinisikan longgar termasuk di dalamnya adalah mereka yang terbuka, tidak selalu dalam konteks tradisional artinya sampai ke modern dan seterusnya itu kan bisa juga mengarah ke Muhammadiyah".
Terlepas dari itu, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli, pada November 2018, mengatakan penetapan Hari Santri Nasional, dan juga penunjukan Ma'ruf Amin sebagai Wakil Presiden bagi Jokowi, memiliki nilai politik karena menambah keuntungan elektoral.
Pemilihan santri sebagai pangsa pasar ini bukannya tanpa alasan. Pengamat politik dari Universitas Padjajaran Idil Akbar menilai pengaruh kiai bisa berdampak pada pilihan santri. Menurutnya, hubungan antara santri dan kiai yang bersifat patron dan klien.
Sehingga, apapun pilihan kyai akan diikuti santrinya. "Sami'na wa atho'na," kata dia, pada 2018 lalu