JAKARTA: Dana yang sangat besar untuk kampanye rentan memunculkan tindak korupsi oleh para peserta pemilu, entah itu parpol, capres/cawapres, maupun caleg. Hasil korupsi itu digunakan untuk membiayai pemilu. Ini sudah terbukti terjadi pada Pemilu 2004 lalu.
Demikian diungkap Koordinator ICW Danang Widoyoko di Jakarta, Kamis (2/4). Pada Pemilu 2004 terungkap kasus korupsi seperti DKP (kasus aliran dana Departemen Kelautan dan Perikanan), Al Amin Nasution, dan BI yang hasilnya digunakan untuk biaya kampanye harus menjadi pembelajaran, kata Danang.
Menurut Danang, aliran dana dalam pemilu membentuk sebuah lingkaran setan korupsi politik. Di dalamnya ada unsur parpol, politisi atau kandidat, kroni bisnis, birokrasi, dan proyek.
Awalnya, parpol menominasikan kandidat. Kemudian, politisi (kandidat politisi) menyetor uang ke parpol. Kroni bisnis memberi dana kampanye (suap) kepada politisi dan parpol. Jika para politisi ini terpilih maka melalui birokrasi mereka menawarkan proyek, konsesi atau lisensi. "Ini terus berputar dalam Pemilu," kata Danang.
Untuk itu, lanjut Danang, perlu adanya pengaturan dana politik. Menurutnya, ada empat tujuan pengaturan dana ini. Pertama, mendorong kemandirian, transparasi dan akuntabilitas. Kedua, mendorong sistem politik yang terbuka, memunculkan partisipasi politik, serta persaingan yang seimbang (equal opportunity) .
Ketiga, sistem keuangan yang dapat mencegah korupsi dengan membatasi partai atau kandidat dari pengaruh berlebihan (kooptasi) donatur atau penyumbang. Terakhir, sistem yang dapat membebaskan pemilih dari politik uang.
Pengaturan dana politik ini, harus dilakukan dengan beberapa prinsip. Prinsip itu di nataranya, pembatasan maksimum jumlah sumbangan perorangan dan badan hukum, larangan menerima sumbangan dari sumber-sumber tertentu, dan kewajiban melakukan tertib pencatatan/pelaporan dan audit. Untuk itulah, Pemilu ini perlu diawasi dari banyak pihak, ajak Danang.