Presiden AS Terpilih Joe Biden (Cuplik.com/ Ade Lukman)
Cuplikcom-Jakarta-Kemenangan Joe Biden dalam pemilihan presiden Amerika Serikat atas Donald Trump menjadi kegembiraan bagi pelaku pasar keuangan dalam negeri.
Pasalnya, perdagangan hari ini, Senin (9/11/2020) rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,99% ke level Rp 14.050/US$. Level tersebut merupakan yang terkuat sejak 19 Juni lalu. Lalu penguatan ini memunculkan ekspektasi mata uang dalam negeri bisa menguat hingga Rp 13.000/US$.
Kepala Riset PT Samuel Sekuritas Indonesia Suria Dharma menyebutkan penguatan rupiah saat ini hanya disebabkan karena tren pelemahan indeks dolar Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena adanya ekspektasi BIden akan memuluskan stimulus ekonomi yang lebih besar untuk menangani Covid-19.
Namun, di dalam negeri inflasi yang rendah memberikan kesempatan bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga.
"Di sisi lain, penguatan Rupiah di saat inflasi rendah memberikan peluang kepada BI untuk memotong suku bunga," jelas dia.
Lebih lanjut, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menyatakan, kemenangan Joe Biden ini memunculkan euforia pelaku pasar secara global karena diharapkan dapat mengubah kondisi perekonomian global.
Calon dari demokrat ini diharap dapat membalikkan kondisi perekonomian dengan kebijakan-kebijakan yang lebih akomodatif dibandingkan dengan yang diterapkan Donald Trump selama empat tahun terakhir.
"Tapi euforia ini saya perkirakan temporer dan rupiah belum akan menguat hingga ke Rp 13.000," kata Piter
Sementara itu, Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan pekan ini volatilitas pasar masih akan tinggi karena pelaku pasar menantikan kebijakan ekonomi yang akan dijalankan oleh Biden ke depannya.
Dari segi ekonomi, Biden juga berencana untuk mencabut pemotongan pajak dan mendorong upah per jam minimum US$ 15.
Selain itu, kemungkinan Biden dapat membalikkan beberapa kebijakan perdagangan Trump terutama dengan sekutu dekatnya yaitu Eropa, tetapi terhadap China, kebijakan perdagangan mungkin tidak banyak berubah.
"Sentimen domestik terhadap China tampaknya tumbuh dan akan menjadi tidak populer bagi Biden untuk membalikkan arah kebijakan China AS. Oleh karena itu, patut dicatat bahwa risiko volatilitas di pasar keuangan yang disebabkan oleh ketegangan perdagangan AS-China mungkin masih ada," kata Andry dalam keterangannya.
Dampak kondisi tersebut kepada Indonesia lebih bersumber dari volatilitas di pasar keuangan akibat kemungkinan berlanjutnya ketegangan perdagangan antara AS dan China. Selain itu, jika pertumbuhan China atau AS terpengaruh, hal itu juga dapat berdampak negatif terhadap ekspor karena China dan AS adalah tujuan ekspor terbesar Indonesia.
Sisi baiknya, ketegangan yang masih ada dapat menyebabkan perusahaan multinasional melanjutkan rencana realokasi dari China ke Asia yang sedang berkembang, yang akan memberikan peluang bagi Indonesia untuk menarik dan meningkatkan investasi ke negara tersebut.
Sementara itu, untuk hubungan langsung Amerika dan Indonesia, diperpanjangnya fasilitas perdagangan yaitu pengecualian tarif impor khusus yang disebut Generalized System of Preferences (GSP) untuk Indonesia setelah 2,5 tahun evaluasi dan proses lobi yang mengamankan aliran sekitar 13% ekspor Indonesia ke Amerika Serikat.
Namun demikian, sentimen-sentimen tersebut hanya akan berdampak dalam jangka pendek kepada rupiah, didukung oleh surplus perdagangan yang berturut-turut dalam beberapa bulan terakhir.
"Dalam jangka menengah akan lebih bergantung pada hal-hal yang fundamental, yaitu Defisit Transaksi Berjalan dan arus investasi. Pada titik ini, kami tetap yakin dengan perkiraan kami di Rp14.296/US$ pada akhir tahun 2020," jelasnya.