Isu rekayasa sistemik terhadap daftar pemilih tetap (DPT) pada Pilkada Jawa Timur belum habis dan masih akan berlanjut. Saat bersamaan, kini muncul lagi kasus Ponorogo. Gegap ‘reog politik’ dari kawasan timur Jawa itu meresahkan dan mencemaskan banyak orang.
Saat ini, di tengah konsentrasi menjelang pencontrengan, publik mencermati temuan Tim Pemilu Jurdil Badan Pemenangan Presiden PDI Perjuangan. Tim tersebut mendapatkan salinan pembicaraan lewat SMS sejumlah tokoh yang mengindikasikan kuat adanya rencana manipulasi DPT pada Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur.
Model serupa juga ditengarai telah diterapkan pada Pemilu 2009. Karena itu, tim PDIP itu meminta semua partai politik mewaspadai upaya manipulasi tersebut.
Temuan itu disampaikan tim yang terdiri dari Hasto Kristiyanto, didampingi Gayus Lumbuun yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PDIP, dan Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDIP Agneta Singadekane, Selasa (7/4) di Jakarta. Data ini diterima Badan Pemenangan Pemilu Presiden dan sudah diklarifikasi dan verifikasi. “Oleh sebab itu, kami bertanggung jawab terhadap data itu,” kata Hasto.
Dalam SMS yang ditemukan Tim PDIP itu, dengan jelas digambarkan bahwa seseorang menjanjikan bisa menambah suara minimum 10%, tentunya dengan memberikan bayaran. Orang yang dijanjikan menanyakan tingkat keberhasilan dan keamanannya.
Kasus ini memicu publik untuk mencermati gonjang-ganjing ‘reog politik’ di Ponorogo. Pasalnya, dua tersangka, yakni M Naziri SHI (caleg Partai Gerindra) dan Bambang Krisminarso SH MHum (aktivis LSM), yakin Edhie Baskoro Yudhoyono, caleg dari Partai Demokrat untuk DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) VII Jawa Timur telah melakukan politik uang di Ponorogo, Jumat (3/4).
“Saya enggak melakukan perbuatan yang disangkakan (mencemarkan nama baik putra Presiden, Edhie Baskoro Yudhoyono) karena politik uang itu benar-benar terjadi di Desa Blembem, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo,” kata Naziri setelah menjalani pemeriksaan maraton di Mapolda Jatim, Rabu (8/4).
Namun Kapolda Jatim, Irjen Pol Anton Bachrul Alam membantah Edhie Baskoro telah melakukan politik uang di Ponorogo. Dari hasil pengecekan, ternyata justru terjadi sebaliknya, yakni ada pencemaran nama baik putra Presiden yang juga berarti penistaan terhadap Presiden. “Pada tanggal itu, terlapor tidak ada di Ponorogo, tapi di Surabaya, lalu ke Yogyakarta, Semarang, dan akhirnya ke Jakarta,” katanya memaparkan.
Senada dengan Naziri, tersangka Bambang Krisminarso mengaku, selaku Ketua LSM Pijar Keadilan di Ponorogo, dirinya telah menerima laporan dari anggotanya, terkait dugaan praktik politik uang yang dilakukan kader Partai Demokrat dengan mengedarkan amplop berisi Rp 10.000 dan foto Edhie Baskoro Yudhoyono selaku caleg.
“Setelah mendapat laporan itu, saya langsung menyerahkan ke Panwas. Semuanya itu benar adanya karena ada saksi dan buktinya. Jadi, enggak benar kalau kami dikatakan melakukan rekayasa, lalu kami dituduh mencemarkan nama baik. Itu enggak benar karena semuanya itu temuan di lapangan,” katanya.
Didampingi pengacara Ahmad Yulianto SH, ia menyatakan, anggotanya di lapangan menemukan pembagian amplop di Desa Blembem terjadi di dua RT. “Di amplop itu ada kartu saku (kartu nama) dari Pak Edhie Baskoro,” katanya.
Ahmad Yulianto menegaskan, unsur rekayasa yang dituduhkan kepada kliennya itu tidak muncul dalam pemeriksaan penyidik kepada kedua tersangka. “Apalagi, tuduhan melanggar UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Teknologi Informatika, itu juga tak dapat dibuktikan karena klien kami orang desa yang tidak mengerti soal itu,” kata pengacara dari Tim Pembela Muslim (TPM) Jawa Timur itu.
Penanganan kasus Ponorogo oleh Polri harus bijak, fair dan adil agar pemerintahan SBY tidak menjadi sasaran kritik dan cemooh. Pasalnya, terbukti dalam kasus Pilkada Jatim saja, DPT manipulatif ternyata memang ada dan merajalela. Akibatnya, pemerintah dan Polri telah kehilangan muka. Profesionalisme Polri dalam taruhan dalam kasus ‘reog politik’ Jatim ini. Publik menermati seberapa jauh profesionalisme Polri.