Beberapa waktu lalu (6/4), Edhy Bhaskoro Yudhoyono alias Ibas -caleg dari Partai Demokrat- melaporkan Naziri bersama empat tersangka lainnya ke Polda Metro Jaya atas dugaan pencemaran nama baik dan penistaan melalui tulisan. Karena dugaan pencemaran nama baik ini berlangsung di Jawa Timur (Jatim), maka Polda Metro Jaya meneruskan laporan putra Presiden SBY itu ke Polda Jatim.
Selasa, 7 April 2009, Polda Jatim telah menetapkan lima tersangka. Selain Naziri, Bambang, pimpinan media online jakartaglobe.com, okezone.com, dan pimpinan harian Bangsa Ponorogo juga telah ditetapkan sebagai tersangka. Pasal yang dikenakan terhadap pimpinan media online tersebut adalah Pasal 27 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Naziri dan Bambang yang disebut-sebut dalam pemberitaan telah melaporkan Edhy ke Panwascab Ponorogo, dikenakan Pasal 27 UU ITE jo Pasal 55 KUHP, Pasal 310 dan 311 KUHP (pasal penghinaan). Sisanya, pimpinan harian Bangsa Ponorogo hanya dikenakan pasal penghinaan sebagaimana yang dituduhkan kepada Naziri dan Bambang.
Namun, tak lama setelah penetapan tersangka pada hari Selasa (7/4), besoknya sekitar pukul 03.00, Polda Jatim mengumumkan pencabutan status tersangka ketiga pimpinan media tersebut. Padahal, Naziri dan Bambang sudah direncanakan untuk ditahan, setelah pemeriksaan dilakukan. "Naziri ketika diperiksa dikatakan akan ditahan. Tapi, setelah teman-teman (penasehat hukum) menanyakan mana surat penahanannya? Penyidik bilang, nanti setelah habis masa penangkapannya," kata kuasa hukum Naziri, Mahendradatta.
Kata-kata itu diakui Mahendradatta didengar sendiri oleh Naziri dan penasehat hukumnya. "Kan dia (Naziri) ditangkap dulu. Harus 1x24 jam. Habis itu baru dikeluarkan surat penahanan. Itu penasehat hukum dan Naziri dengar sendiri". Tapi, rencana penahanan ini sirna ketika dua pimpinan media online dikeluarkan dari jajaran tersangka. Pasal 27 UU ITE yang dikenakan serta pidana penyertaan terhadap Naziri dan Bambang otomatis ditarik kembali pihak penyidik. Seperti diketahui, Pasal 27 UU ITE memberi ancaman maksimal enam tahun penjara bagi pelakunya. Sedangkan, Pasal 310 dan 311 KUHP, maksimal hanya empat tahun penjara. Sehingga tidak ada alasan penyidik untuk melakukan penahanan.
"Kesalahan teknis" yang dilakukan penyidik Polda Jatim ini dianggap Mahendradatta sebagai kesalahan penerapan hukum. Direktorat Bantuan Hukum Nasional Bappilu Partai Gerinda yang memberikan advokasi terhadap Naziri saat ini sedang mempelajari prosedur penangkapan. "Kalau tidak sesuai prosedur, ya kita praperadilankan. Kalau tidak sesuai prosedur lho. Kita sedang pelajari, belum kita putuskan," ujarnya.
Sementara, di tempat yang berbeda, Kadiv Humas Mabes Polri Abu Bakar Nataprawira menjelaskan alasan dianulirnya ketiga pimpinan media dari daftar tersangka karena belakangan setelah dilakukan pemeriksaan saksi, tersangka, dan pengumpulan alat bukti, ternyata tidak ada hal kuat yang mengindikasikan ketiga orang itu sebagai tersangka. "Waktu itu kan proses. Nah, setelah diteliti, pendalaman lagi. (Dapat disimpulkan) berarti yang kena Pasal 310 dan 311, yang (hanya) dua orang tadi (Naziri dan Bambang)" jelasnya.
Kronologis
Kasus ini bermula dari laporan atas dugaan politik uang (money politic) yang dilakukan Edhy. Dengan membawa bukti berupa amplop berisi uang Rp10 ribu dan alat peraga bergambar wajah Edhy, Naziri dan Bambang menyambangi Panwascab yang berada di Kecamatan Jambon untuk membuat laporan, Jumat (3/4).
Bukti-bukti ini diakui Naziri dan Bambang didapat dari warga Desa Blembem, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo, yang bernama Tukijah dan Parnun. Setelah mendapat pesan elektronik (SMS) dari seseorang bernama Nolok yang menyatakan ada pembagian uang di Desa Blembem, Bambang langsung meneruskan kepada Naziri. Sekitar pukul 9.30 WIB, Naziri dan Bambang diajak Nolok bertemu Tukijah dan Parnun. Mereka mengaku sebagai perwakilan dari pusat yang sedang mengecek apakah jumlah uang yang dibagikan itu sebesar Rp50 ribu.
Dua orang yang mengaku mendapat uang dari orang bernama Samuji itu menyerahkan sebuah amplop berisi Rp10 ribu dan alat peraga bergambar foto Edhy. Kemudian, uang dan alat peraga tersebut diganti Naziri dan Bambang dengan uang masing-masing sebesar Rp50 ribu. Merasa sudah mengantongi bukti, Naziri dan Bambang melaporkannya ke Panwascab Kecamatan Jambon. Panwascab setelah itu meneruskan laporannya ke Panwas Kabupaten Ponorogo.
Melalui rapat pleno, Panwas Ponorogo memutuskan bahwa Edhy tidak melakukan money politic. "Karena tadi tidak ada saksi yang nyerahin (Samuji), tidak ada saksi yang menerima (Tukijah dan Parnun), maka ditetapkanlah oleh Panwaslu Kabupaten Ponorogo tidak terjadi money politic yang dilakukan Edhy Bhaskoro," terang Abu Bakar. Maka dari itu, Edhy yang merasa nama baiknya telah tercemar, melaporkan tindakan tersebut ke Polda Metro Jaya, Senin lalu (6/4).
Begitulah kronologis versi polisi. Namun, ketika Mahendradatta mengkonfirmasi ke pihak Panwaslu Provinsi Jatim, ternyata laporan Bambang dan Naziri masih diproses. "Ketika dihubungi Panwas Jatim, proses pelaporan ini masih berlangsung. Komfirmasi saja ke Panwas Jatim," bebernya.
Kesimpulan Panwas Ponorogo yang menyatakan tidak ada money politic justru dianggap Mahendradatta telah mengambil alih domain pengadilan. "Kalau dia (Panwas Ponorogo) nggak mau cari bukti. Jangan bilang nggak ada bukti. Dan jangan bertindak seperti pengadilan, memutuskan sesuatu orang bersalah atau tidak itu pengadilan".