Kalau kita baca Wedhatama karya Mangkunegoro IV, yang diterjemahkan kembali oleh Fatchurrohman (Jakarta: WWS, 2003), terbaca bahwa Mangkunegoro IV memberi pelajaran kepada anak-anaknya bahwa sebaiknya yang dijadikan panutan itu Panembahan Senopati (Raja Mataram yang pertama) dan bukan Nabi Muhammad SAW.
Hal ini terbaca pada bagian berikut ini:
Nuladha laku utama, tumraping wong tanah Jawi, wong Agung ing Ngeksiganda, panembahan Senapati, kapati amarsudi, sudaning hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amemangun karyenak tyasing sasama (Teladanilah sikap terpuji tokoh besar dari Mataram, Panembahan Senapati. Ia telah berupaya sepenuh hati demi terkendalinya hawa nafsu. Rajin bertapa, baik siang maupun malam, guna menciptakan ketenteraman batin sesama makhluk).
Lamun sira paksa nulad, tuladhaning Kanjeng Nabi, o, ngger kadohan panjangkah, wateke tan betah kaki, rehne ta sira Jawi, sathithik bae wus cukup, aja guru aleman, nelad kas ngepleki pekih, lamun pengkuh pangangkah yekti karahmat (Jika kau memaksakan diri untuk meniru sikap ketauladanan Nabi, o, terlampau jauh, anakku. Dari gelagatmu, kau takkan mampu karena kau lahir sebagai orang Jawa. Karenanya tak perlu berlebihan. Janganlah mencari pujian dengan meniru dan menyerupai ulama ahli. Asalkan engkau tekun meraih cita-cita tentu anugerah akan tiba).
Mangkunegoro IV sadar bahwa ia adalah keturunan raja, priyayi, karena itu, dalam Wedhatama, ia juga mengatakan, “Lambat laun aku berpikir, mengingat dilahirkan sebagai putra priyayi, layakkah berkeinginan menjadi santri, juru dakwah, atau ahli agama?” Dan, karena merasa tidak memiliki bakat keturunan itulah Mangkunegoro IV lebih berpegang teguh pada garis ketentuan hidup, yakni melakukan upaya pelestarian terhadap ajaran para pendahulu hingga saat sekarang. “Garis hidup yang harus kutempuh tak lain hanyalah mencari nafkah.”
Jika dihadapkan pada dua pilihan; lebih mengutamakan ibadah atau mencari nafkah, maka Mangkunegoro IV melalui Wedhatama akan menjawab: “Mencari nafkah kiranya lebih utama karena kita ditakdirkan sebagai orang lemah. Misalnya, mengabdi kepada raja, bertani, ataukah berdagang. Demikianlah menurutku, setidaknya sebagai orang yang bodoh, oleh karena bahasa Arab belum kukenal, Jawa pun belum tuntas kukuasai. Walaupun demikian, aku terpaksa memberanikan diri menggurui anak.”
Manusia ideal di mata Mangkunegoro IV adalah manusia yang dalam hidupnya memiliki tiga hal, yakni kekuasaan, harta, dan kepandaian. Kalau manusia tidak dapat meraih satu dari ketiga hal di atas, maka habislah martabatnya sebagai manusia. Jadi, kalau menggunakan kacamata Mangkunegoro IV, kemuliaan manusia tidak dilihat dari ketaqwaannya, melainkan dari ketiga hal yang sangat duniawi.
Hal lain yang cukup penting dalam Wedhatama adalah masalah syariat, tarikat, hakikat, dan ma’rifat, yang di Jawa sebenarnya sudah dikenal pula dengan sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa. Tampaknya Mangkunegoro IV agak risih dengan pelaksanaan syariat yang dinilainya terlalu berlebihan. “Dahulu kala masyarakat belum pernah dikenalkan pada ajaran rahasia ini. Baru sekarang kaum saleh memperlihatkan karya, menampakkan kemahirannya, bahkan syariat aneh-aneh.”
Berbeda dengan Mangkunegoro IV, raja Jawa lainnya, Pakubuwono IV agak berbeda menyikapi Islam dalam Wulangreh. Dalam bagian awal tulisannya, Pakubuwono IV mengatakan, “Dalam Alquranlah tempat kebenaran sejati, namun hanya yang terpilih yang tahu, dan yang memperoleh petunjukNya. Demikianpun pemahamannya tidak dapat hanya berdasar perkiraan sehingga tidak menemukan kebenaran isyarat, bahkan mungkin berlebihan sehingga tersesat. Jika engkau ingin memahami kesempurnaan hidup, seyogyanya bergurulah.”
Sebagaimana Wedhatama, Wulangreh juga merupakan naskah kraton; yakni naskah yang ditulis oleh kalangan kraton atas perintah raja saat itu. Dan, ajaran-ajaran yang terdapat dalam naskah ini juga ditujukan kepada anak-anak raja. Saya menilai Wulangreh adalah naskah yang sangat luar biasa, karena di dalamnya berisi nasihat kepada anak-anak raja (penguasa) untuk tidak menyombongkan diri. Pakubuwono IV mengajarkan agar anak-anak raja tidak adigang adigung adiguna; yang artinya janganlah kau menyombongkan diri, janganlah suka mencela, serta jangan menyombongkan kepandaian (sok pintar).
“Ajaran yang benar itu sesungguhnya pantas ditiru. Sekalipun berasal dari orang berderajat rendah, namun jika ajarannya benar, pantas kau terapkan,” kata Pakubuwono IV. Pernyataan ini sama dengan sabda Nabi yang mengatakan “dengarlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan.”
Banyak sekali nasihat-nasihat yang diberikan Pakubuwono IV yang saya nilai justru antifeodalisme. Bahkan, ketika menasihati anaknya untuk berbakti, maka orang yang harus dihormati pertama kali adalah orangtua (ayah dan ibu), kemudian mertua (baik mertua laki-laki maupun perempuan), setelah itu harus menghormati kakak (baik laki-laki maupun perempuan), kemudian guru, dan yang terakhir adalah raja. Ini menurut saya sangat menarik. Meskipun ada nasihat untuk menghormati raja, tapi itu dilakukan setelah kita menghormati orangtua dan guru.
Naskah Wulangreh ini ditulis pada 1803 (awal abad ke-19), sementara Wedhatama ditulis sekitar 1853-1881 (pertengahan abad ke-19). Jika Wulangreh ditulis oleh Pakubuwono IV yang ketika dikukuhkan menjadi raja masih berumur 19 tahun, maka Wedhatama ditulis oleh Mangkunegoro IV yang di masa kolonial Belanda saat itu dikenal lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi.
Pakubuwono IV tidak menafikan syariat Islam sebagaimana Mangkunegoro IV yang merasa risih dengan syariat Islam. Perbedaan ini memperlihatkan bahwa sebenarnya kultur atau budaya Jawa itu beragam. Dengan demikian, Islam yang diterima dan dipraktikkan oleh manusia Jawa pun beragam. Ada yang menerima agama Islam seutuhnya, yang berusaha “meniru-niru Kanjeng Nabi Muhammad dari Mekah”, ada pula yang menerima Islam namun tidak melupakan kepercayaan sebelumnya. Perlu diketahui bahwa dalam kedua naskah ini, penggunaan istilah Hyang Widhi dan Allah silih berganti posisinya. Bahkan Nabi Muhammad pun disandingkan dengan Hyang Widhi. Ini memperlihatkan adanya sinkretisme ataupun proses transisi dari pengaruh Hindu ke Islam.
Niels Mulder mencatat bahwa Islam mulai menancapkan pengaruhnya di Jawa pada abad ke-16 sejak berdirinya kerajaan Demak di daerah pesisir Jawa. Begitu kerajaan Demak berakhir, terjadi negosiasi ulang antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai kejawaan (kejawen) di kerajaan-kerajaan di Jawa yang berada di pedalaman, termasuk raja-raja di Surakarta. Saya melihat naskah Wedhatama memperlihatkan dengan jelas adanya negosiasi ulang itu. Sementara Wulangreh memperlihatkan masih adanya sikap akomodatif terhadap Islam di tanah Jawa.