Selain itu berdasarkan Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Karnawi juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp2,064 miliar dikurangi dengan uang yang telah disita KPK sebesar Rp200 juta. Uang pengganti ini harus dibayar paling lambat satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Apabilatak dibayar maka dipidana dengan tiga tahun penjara.
Menurut penuntut umum Chatarina Mulyana, Karnawi terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dan diancam dalam Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Karnawi terbukti mendapatkan proyek peningkatan fasilitas mesin dan peralatan pelatihan pada Balai Latihan Kerja (BLK) Banda Aceh dan Medan secara melawan hukum.
Sebelum ditunjuk sebagai rekanan, Karnawi sudah melakukan berbagai pertemuan dengan Taswin Zein selaku atasan langsung bendaharawan. Dalam pertemuan itu Karnawi menyetujui permintaan Taswin untuk menjadi salah satu rekanan pada proyek di Depnakertrans dengan sumber ABT DIKS. Bahkan pertemuan ini pun dilakukan pada saat proses ABT DIKS belum disahkan.
Penuntut umum menguraikan fakta persidangan yang kembali menegaskan Karnawi telah melanggar pasal 17 ayat (5) Keppres No .80/2003. Penuntut umum menyebutkan PT Panton Pauh Putra ditunjuk selaku rekanan dengan metode penunjukan langsung. Padahal Karnawi mengetahui bahwa barang-barang yang diadakan dalam proyek bukanlah barang spesifik dan bukan dalam hal penanganan darurat. Sehingga tak layak untuk ditunjuk langsung.
Lebih jauh, untuk membuat seolah-olah dirinya telah mengikuti seluruh tahapan pengadaan sesuai ketentuan, Karnawi memerintahkan Sjahriar Bachtiar untuk menyerahkan kelengkapan dokumen PT Panton Pauh Putra kepada Monang Tambunan selaku bendaharawan. Dokumen tersebut digunakan sebagai bahan untuk membuat dokumen pelelangan, kontrak, berita acara serah terima barang termasuk surat pengajuan pembayaran dan kwitansi. Seluruh dokumen itu ditandatangani oleh Karnawi pada 27 Desember 2004, padahal barang baru diserahkan pada Januari sampai April 2005.
Tidak hanya itu, karena mengetahui pelaksanaan kontrak tidak dapat dilaksanakan sampai 31 Desember 2004, Karnawi sepakat dengan Taswin Zein dan Bahrun Efendi selaku Sesditjen Binapendagri untuk memundurkan waktu pelaksanaan kontrak menjadi akhir Januari 2005 dan membuka rekening bersama untuk menampung pencairan nilai kontrak.
"Faktanya pembukaan rekening bersama antara terdakwa dan Taswin Zein bertujuan untuk menutupi perbuatan terdakwa yang belum melaksanakan kewajibannya, namun terdakwa tetap mendapatkan pencairan nilai kontrak," kata Chatarina.
Akibat dari ditandatanganinya berita acara serah terima barang fiktif itu, pada 30 Desember 2004 Karnawi menerima pembayaran senilai Rp6,2 miliar yang telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp2,064 miliar. "Dengan demikian bahwa kerugian negara sebesar Rp2.064.042.755 yang timbul dalam pelaksanaan pengadaan untuk BLK Banda Aceh yang bersumber ABT Diks merupakan akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa," ujar Chatarina.
Menanggapi tuntutan ini, penasehat hukum Karnawi, Jonas Sihaloho mengatakan penuntut umum sebenarnya tidak yakin kliennya bersalah. "Tuntutan empat tahun menunjukkan bahwa jaksa dalam hal ini ragu-ragu. Terbukti di Pasal 2 itu ancaman yang minimum, jadi kalau jaksa yakin klien kami bersalah maka bisa lebih," kata Jonas. "Klien kami tidak punya kewenangan dan niat, karena ada keputusan dari Menakertrans kalau sudah diputuskan untuk penunjukan langsung," tambahnya.
Persidangan yang dipimpin oleh hakim Teguh haryanto ini akan dilanjutkan dua minggu mendatang (27/4) dengan agenda pembacaan pembelaan (pleidooi) oleh penasehat hukum.