Menurut Kornelius, revisi UU No. 2/1992 penting untuk mengatur penyelenggaraan asuransi, direksi, tenaga ahli, hingga kepemilikan perusahaan asuransi. Bahkan pengaturan hal-hal baru seperti asuransi syariah dan unit link juga diperlukan. Pihaknya mengusulkan agar perubahan produk perundang-undangan di bidang perasunsian tidak terbatas pada UU No. 2/1992 saja. "Kami usulkan supaya tuntas, menyeluruh, dan komprehensif," cetus Kornelius.
Dia mengharapkan revisi Undang-Undang tidak berupa tambal sulam. Bahkan, lebih baik bila menjadi produk hukum yang baru. Yang diatur, terang Kornelius, seharusnya klausula Perjanjian Asuransi dulu. "Baru pelakunya," tambahnya.
Oleh karenanya, Kornelius menyakinkan AAUI berusaha untuk membuat Kitab Undang-Undang Perasuransian. Kitab ini akan terdiri dari dua buku. Buku pertama tentang perjanjian asuransi. Buku kedua tentang penyelenggaraan usaha perasuransian.
Namun untuk saat ini, pihaknya masih membuat konsep revisi UU Usaha Asuransi. Untuk menyusunnya, AAUI menjalin kerja sama dengan para anggotanya. "Kita sudah bikin tim yang dikelompokkan jadi enam kelompok," kata Kornelius.
Dia menambahkan, masing-masing anggota AAUI diminta mengirimkan satu orang untuk duduk dalam Tim Konseptor Pembahasan Perubahan UU Usaha Perasuransian. Menurut Sekjen AAUI, Adrian JK, perwakilan yang dikirim harus berdasarkan keahlian personalnya yang dibutuhkan oleh Kelompok Kerja. Sejauh ini sudah ada Kelompok Kerja yang melakukan rapat hingga dua kali.
Kornelius juga ingin memberi beberapa masukan terhadap revisi UU Usaha Perasuransian. Antara lain penerbitan polis setelah premi dibayar dan relaksasi pembatasan bagi agen asuransi. Menurut Kornelius, ide yang pertama penting diterapkan anggota agar bisnis asuransi bisa ditata sebagaimana harusnya di asuransi umum. "Kami terlalu rileks dari dulu," ujarnya mahfum.
Relaksasi pembatasan bagi agen asuransi, kata Kornelius, terkait pembatasan, dimana satu agen hanya bisa menjual produk asuransi dari satu perusahaan saja. Pihaknya ingin agar agen asuransi diperbolehkan untuk menjual hingga dari tiga perusahaan asuransi. "Kalau hanya satu, kebutuhan nasabah tidak bisa dipenuhi semua. Jadi tidak bisa one-stop service," imbuhnya. Akibatnya, nasabah harus mencari beberapa agen asuransi yang mewakili perusahaan yang berlainan untuk memenuhi kebutuhannya.
Dengan sistem yang diusulkannya itu, Kornelius menegaskan harus diatur juga persaingan yang sehat di industri perasuransian. Salah satunya dapat dilakukan dengan dukungan pemerintah. Kornelius menyarankan supaya Badan Pusat Statistik menyediakan data potensi kerugian dan resiko (loss and risk) sehingga dapat diketahui patokan harga-harga minimum. "Yang sekarang kita bikin tarif masing-masing," keluhnya.
Dampak Krisis Keuangan
Pada kesempatan yang sama, Ketua Bidang Statistik, Informasi dan Analisa AAUI, Arizal ER, mengakui industri perasuransian tidak luput dari krisis finansial. Dia menegaskan, terdapat hubungan langsung antara kondisi keuangan dengan tingkat resiko. "Di kita diyakini setiap ada gejolak ekonomi yang tidak baik, resiko meningkat," ujarnya.
Ketua Departemen Informasi dan Analisis AAUI, Dadang Sukresna, menambahkan asuransi terkena imbas krisis finansial global yang menerpa ekuitas. Resiko dari para nasabah terutama kalangan industri pun meningkat ketika terjadi penurunan produksi. Karena secara berantai terjadi pengurangan biaya perawatan dan kemananan. Kondisi ini dinamakan silent risk. Dalam keadaan ini, kata Arizal, tingkat keamanan menjadi rendah dan banyak resiko pencurian aset nasabah yang terjadi.
Oleh karena itu, untuk saat-saat sekarang ini, kata Arizal, industri asuransi sangat berhati-hati, bahkan menjadi konservatif. "Kita tidak ambisi untuk mencari produksi kalau kedepan tidak kondusif," ujarnya.