Cuplik.Com - Jakarta – Pemerintah melakukan pengetatan impor untuk mendorong vendor membangun pabrik di Indonesia. Jika ponsel produksi Indonesia, harganya menjadi lebih murah. Sayangnya, tidak semua vendor siap berinvestasi membangun pabrik baru.
Kebijakan pengetatan impor barang elektronik itu berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60/M-DAG/PER/12/2008 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu.
Per 1 Januari lalu, importir harus menjadi importir terdaftar (IT) dan ada biaya tambahan untuk memenuhi syarat ini. Sedangkan per 1 Februari 2008, biaya bakal makin bertambah karena peraturan itu mengharuskan verifikasi di negara asal produk impor.
"Produsen terutama telepon selular bakal berebut membuat pabrik di Indonesia. Setelah aturan itu berjalan, harga telepon selular produksi dalam negeri lebih murah dibandingkan impor," kata Direktur Jenderal Industri Alat Transportasi dan Telematika Departemen Perindustrian Budi Darmadi, di Jakarta, kemarin.
Salah satu ponsel lokal asal China, Asiafone menilai mungkin saja membangun pabrik ponsel di Indonesia. Tapi pemerintah harus aktif memberikan bantuan. "Kami memang mengarah ke situ, karena Depperin menginginkan ponsel China membangun pabrik di Indonesia," kata Jarot Susanto Service Manager Asiafone.
Tapi untuk membangun pabrik ponsel di Indonesia relatif sulit. Apalagi ponsel China rata-rata baru memulai bisnis. Bisa saja membangun pabrik ponsel tapi pemerintah harus memberikan sejumlah insentif. “Yang pasti kami butuhkan insentif pengurangan pajak bea masuk," imbuhnya.
Jarot menjelaskan, ponsel China dengan merek lokal hanya bisa mengambil bagian tak lebih dari 5% pangsa pasar. Sementara total ponsel yang dipasarkan tahun lalu diperkirakan mencapai 30 juta unit.
Asiafone menargetkan bisa menempati posisi tiga besar ponsel China yang jumlahnya mencapai lima puluhan merek. Asiafone ingin menguasai 30-40% total ponsel China.
Jarot mengatakan sulit bagi ponsel China bersaing harga dengan vendor besar misalnya Nokia. Untuk itu pasar yang bisa dikejar hanya segmen middle end dan low end. Tapi tetap menawarkan fitur yang tak kalah mewah dengan vendor ponsel besar, agar bisa bersaing.
Asiafone sendiri baru memasarkan produk pada Agustus 2008 lalu. Meskipun pernah mengalami masa sulit di awal-awal, tapi berhasil meningkat 2.000% Desember dan Januari lalu.
Produsen ponsel lokal lain Beyond juga kesulitan membangun pabrik ponsel di Indonesia. Selain masalah sumber daya manusia, kebutuhan komponen ponsel di Indonesia juga sulit dipenuhi. “Untuk membangun pabrik ponsel, biayanya juga sangat tinggi,” kata Marketing Manager Beyond Abun.
Ke depan, Beyond akan tetap mengimpor produk ponsel dari luar negeri meskipun berpengaruh pada harga jual. Abun mengatakan, jika mengikuti aturan baru, produk ponsel Beyond akan lebih mahal 10-25%. “Mau bagaimana lagi, pasti akan berpengaruh pada harga,” katanya.
Tapi Abun mengatakan tetap optimis, meskipun harganya lebih tinggi konsumen akan terus membeli ponsel. Sebab pemasaran ponsel lebih tergantung pada ekonomi nasional. Jika ekonomi membaik, maka konsumen akan memiliki daya beli terhadap produk semacam ponsel.
Budi Darmadi mengatakan optimistis pengetatan impor itu berdampak positif pada investasi. Ia menyebut beberapa produsen ponsel telah menyatakan minatnya untuk membangun pabrik di Indonesia. "Beberapa sudah melihat-lihat dan mempelajari iklim investasi di sini," kata dia.
Budi mengakui pada bulan-bulan pertama pengetatan impor, harga ponsel akan naik. Hal itu disebabkan menurunnya impor akibatnya persediaan ponsel semakin menipis di pasaran. Tapi dalam jangka waktu empat bulan, akan terjadi permintaan karena konsumen mengganti produk ponselnya dengan cepat.