Demikian terungkap dalam diskusi perlindungan bangunan cagar budaya bertajuk "Membangun Tanpa Menggusur Sejarah" di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Sabtu (11/4). Menurut Undang-Undang Nomor 5 tentang Benda Cagar Budaya, bangunan cagar budaya adalah benda buatan manusia yang mewakili masa gaya yang khas dan sekurang-kurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, atau nilai penting lain.
Hadir sebagai pembicara Ketua Bandung Creative City Forum Ridwan Kamil; pakar perencanaan kota dari Institut Teknologi Bandung, Widjaja Martokusumo; perwakilan Bandung Heritage, David Sudiono; serta Herman Muchtar dari Dewan Pertimbangan Ekonomi Kota Bandung.
Menurut Kamil, pembangunan di Kota Bandung sering kali melupakan aspek sejarah dan identitas kota. Banyak bangunan cagar budaya dihancurkan demi kepentingan ekonomi karena dianggap tidak menjual. Beberapa contoh adalah Gedung Singer, pemandian umum Aquarius Tjihampelas, serta rumah di sepanjang Jalan Ir H Djuanda (Dago), LL RE Martadinata, dan Sultan Agung.
Hal ini sangat disayangkan. Alasannya, di belahan dunia lain, seperti Italia, Inggris, atau China, bangunan cagar budaya merupakan daya jual tinggi untuk bisnis ekonomi. Pengunjung tidak sekadar membeli barang yang ditawarkan, tetapi juga ingin melihat sisa peninggalan bangunan masa lalu.
Hal itu dibuktikan Bank BTPN Cabang Dago yang menggunakan bangunan Driekleur di persimpangan Jalan Sultan Agung dan Jalan Ir H Djuanda. Menurut Agus Trijadi, Manajer Proyek Renovasi Driekleur, awalnya banyak pihak meragukan penggunaan Driekleur sebagai Kantor BTPN. Namun, justru dengan dilakukan aktivitas perbankan di Driekleur pendapatan BTPN bertambah tinggi.
"Bank biasanya berhubungan erat dengan kesan konservatif dan tegas. Ciri itu dimiliki bangunan cagar budaya. Satu tahun dibuka, kami bisa mencapai titik impas dari dana yang dikeluarkan untuk membiayai renovasi gedung yang mencapai lebih dari Rp 4 miliar," katanya. Insentif pajak
Oleh karena itu, menurut Widjaja, guna menyeimbangkan investasi dan pelestarian bangunan cagar budaya, Kota Bandung membutuhkan tim independen dari berbagai disiplin ilmu sebagai tuntunan renovasi, perawatan, hingga promosi daya tarik bangunan cagar budaya. Selain itu, peran serta masyarakat dan pemilik bangunan juga harus didukung, di antaranya dengan pemberian insentif pajak tahunan. Alasannya, banyak pemilik bangunan tua kesulitan membayar pajak sehingga memilih menjualnya.
"Awalnya pemilik lama tidak mampu membayar pajak, lalu menjualnya kepada investor. Investor inilah yang biasanya mengubah atau menggusur bangunan cagar budaya menjadi tempat usaha,