Menurut keterangan Kepala Kepala Sub Dinas Bidang Pengembangan dan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat Gita Sulastri, bayi gizi buruk itu berasal dari 14 kecamatan. Sebagian besar dari mereka berasal keluarga ekonomi lemah.
"Kita mengetahui ini setelah mendapatkan laporan dari kecamatan. Sebagian besar balita ini mendapat jaminan kesehatan masyarakat. Tapi ada pula yang tidak," ujarnya, Selasa (14/4/2009).
Balita gizi buruk itu diantaranya berasal dari Kecamatan Srengat, Sanan Kulon, Garum, Kanigoro, Wonotirto, Binangun, Wates, Selorejo, Gandusari, dan Kesamben.
Secara medis, menurut Gita, penyebab gizi buruk dikarenakan penyakit penyerta balita, diantaranya infeksi saluran pernafasan (ispa), kelainan syaraf, dan kelainan otak kecil. Minimnya asupan gizi selama bayi berada dalam kandungan ibunya juga menjadi salah satu factor pemicu.
Perbandingan berat badan dengan tinggi badan balita gizi buruk menunjukkan angka minus tiga. Jika tidak sampai angka minus tiga tapi sudah menunjukkan minus, maka balita tersebut masuk kategori kurang gizi.
"Jadi tidak hanya selalu disebabkan minimnya gizi. Tapi juga ada penyakit penyerta," terangnya.
Adapun tanda-tanda klinis balita gizi buruk diantaranya, berat badan minim dengan perut membuncit. Selain itu kulit bayi tidak elastis, termasuk wajah yang muram.
Untuk 21 bayi di Kabupaten Blitar, setelah menjalani penanganan sekira dua bulan, tujuh bayi dinyatakan sudah membaik. Sedangkan 14 balita lainya, menurut Gita, masih menjalani penanganan rutin di puskesmas setempat.
"Yakni memberi paket bantuan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa susu gizi tinggi Entrasol, kepada setiap balita secara rutin," paparnya.
Teknisnya, setiap balita yang termasuk gizi buruk mendapat jatah satu paket untuk 90 kali makan. Dengan jumlah 21 kasus selama dua bulan awal 2009, diakui bahwa jumlah kasus gizi buruk meningkat dibandingkan tahun 2008.
Seperti diketahui, Kabupaten Blitar pada 2008 masuk urutan 16 dari 38 kota/kabupaten se-Jawa Timur yang memiliki kasus balita gizi buruk.
Menanggapi kasus ini, anggota DPRD Kabupaten Blitar, Panoto meminta Dinkes serius dalam melakukan penanganan.
"Jangan sampai ini hanya sekedar lip service karena banyak masyarakat yang tahu," ujarnya.