Dalam perebutan kekuasaan kursi kepresidenan, semua pihak yang menginginkan tampuk kekuasaan itu harus siap mental-fisik. Tak cuma rencana konsep materi kampanye, strategi, kiat/taktik promosi-publikasi, dari lobby politik, iklan di media massa sampai menyebar juru kampanye ke pelosok wilayah, dan sebagainya, harus full-combat & ready for use. Yang jelas kesemuanya itu membutuhkan yang paling utama, yakni amunisi = duit.
Ingat ketika dulu mendiang Nurcholish Madjid didorong agar maju ke ajang pilpres melalui konvensi Golkar? Secara fisik, pemikiran, popularitas Cak Nur jelas menyandang predikat negarawan--bukan hanya politikus--tapi beliau kemudian mundur, membatalkan niat lantaran banyak pihak yang menanyakan soal gizi.
Gizi? Yaa, itu sebutan lain dari duit. Gak mampu menyediakan duit minimal--kata orang: 10 miliar, mendingan mundur sebelum melangkah jauh. Dengan kata lain hanya mengandalkan idealisme untuk maju ke pemilihan presiden adalah angan-angan di siang bolong. Jangankan Pilpres, tampuk kekuasaan tertinggi negara, untuk jadi Lurah/kepala desa saja perlu dukungan duit minimal 500 juta rupiah.
Benar, ajang pemilihan dari tingkat Lurah, Camat, Bupati, Walikota, Gubernur, anggota DPR dan DPD, sampai Presiden yang terutama adalah berapa besarnya duit yang ada di rekening bank. Barang bergerak maupun tak bergerak harus dinilai - untuk kemudian dicairkan jadi duit. Dalam demokrasi dikenal one man one vote, satu orang satu suara, maka duit itu untuk membeli suara dari setiap orang. Jelas!
Jadi, mereka yang siap masuk orbit calon peserta lomba tampuk kekuasaan sudah berhitung, mengkalkulasi pengeluaran dan penerimaan, rugi dan laba, tentu. Orang awam tentu saja tak tahu, gak mudeng, soal itu. Bahkan pun mereka yang tergabung dalam tim sukses. Asal tahu saja, tim sukses itu ada tingkatannya: mulai dari tim inti, lingkaran 1, lingkaran 2 dan seterusnya. Yang tahu soal kalkulasi hanya tim inti.
Orang awam tentu bingung. Kok, maju jadi bakal calon ada penerimaan, ada labanya Apa bukan melulu pengeluaran dan rugi?
Itu dia. Bacalah UU Pemilu, pada pasal dan ayat tentang boleh tidaknya para balon menerima sumbangan dari pihak lain, memang dinyatakan boleh dengan syarat tertentu. Nah, tugas tim inti mensiasati agar pihak-pihak lain yang menyumbang tidak melanggar UU tersebut. Maka penerimaan mesti disebut, antara lain: infaq-sadaqah, sumbangan sukarela, sumbangan sukarela tapi wajib, tali kasih, dan sebagainya.
Pokoknya bukan pungutan liar, sogokan, pelicin, apalagi upeti - yang buat pejabat bisa dikategorikan menerima gratifikasi alias uang haram di luar penerimaan resmi.
Soal laba pun begitu. Selisih atau margin antara penerimaan dan pengeluaran = laba. Maka tergantung popularitas sosok sang balon. Ia dikenal sebagai orang yang mampu memikat berbagai golongan, atau memiliki jabatan yang menguntungkan berbagai pihak, atau bahkan yang disegani-ditakuti karena kebengisannya. Nah, faktor-faktor semacam itu dapat memperkecil pengeluaran dan ataupun melipatgandakan penerimaan.
Jadi, apa mungkin balon yang akhirnya keluar dari ajang lomba alias tak terpilih tapi bisa menangguk laba. O ya, bisa jadi. Caranya?
Begini. Sang calon beserta tim suksesnya sejak awal melaksanakan publikasi/promosi melalui berbagai cara, sampai ia ditetapkan sebagai balon. Lantas kampanye dengan lantang..ba .bi..bu..be..bo..nah, ketika proses pemilu/pilkadal mendekati usai, ia datang ke calon yang tampaknya memang unggul. Kepada sang unggul itulah suara-suara pemilih yang ia miliki dialihkan. Imbalannya...ya, bisa berupa uang ataupun jabatan. Jika bentuk uang pasti lebih besar dari pengeluaran, jika bentuk jabatan maka dari jabatan itulah ia mengeduk uang mengganti seluruh biaya pengeluaran. Plus laba tentu. Tepatnya: makelar. Pokoknya mereka yang berani terjun ke ajang lomba menduduki kekuasaan...asal menggunakan segala cara bakal kinclong, gemerlapan, berpendar-pendar kilau mas intan yang disandangnya.
Kinclong bukan klincong kan?!
Klincong itu plesetan dari Clinton. Dulu ia terkenal sebagai presiden AS, tahun lalu istrinya yang mencalonkan diri ikut ajang lomba menjadi presiden, tapi gagal. Kalah bersaing dengan Obama. Namun para pemilihnya diarahkan ke sesama partai. Nah, akhirnya menduduki jabatan strategis sebagai Menteri Luar Negeri dalam cabinet presiden Barrack H.Obama.
Ihwal klincong inilah yang kita jadikan wacana untuk membahas balon-balon pemilu presiden RI 2009.
Dampak dari kedudukan sebagai istri dari Clinton, presiden AS, disebut dengan hormat sebagai First Lady, tentulah semacam waham kebesaran: pernah berkuasa, pernah dikelilingi staf yang siap membantu segala yang dibutuhkan, pernah memiliki berbagai--keistimewaan dalam relasi-relasi dengan siapa saja--, pernah mengumpulkan dan memiliki berbagai hadiah/upeti/sumbangan, pernah...dan sebagainya.
Pernah berkuasa--dengan segala sebutan, atribut, dan lain-lain, juga disandang oleh bakal calon presiden dan wakil presiden kita. Minimal dari dua survey lembaga uang memiliki kredibilitas muncul nama-nama: Sultan Hamengkubuwono X - penguasa kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Gubernur DI Yogyakarta, Wiranto - Jenderal, mantan Panglima ABRI, Megawati Soekarnoputri - puteri Presiden RI ke I, mantan Presiden RI ke V. Ketua Umum PDI Perjuangan, Prabowo, mantan Danjen Kopassus, Yusuf Kalla, Wapres RI, Sutiyoso, mantan Gubernur DKI, Susilo Bambang Yudhoyono - mantan Menkopolkam, Presiden RI ke VI.
Seperti planet di tata surya mereka sudah masuk orbit. Maka supaya rakyat kenal, paham, cinta mereka berlomba-lomba menampilkan diri, lengkap dengan berbagai asesori. Jawara tempo doeloe setiap tampil di khalayak ramai tentu mengenakan busana yang paling ciamik plus gelang akar bahar, batu cincin kecubung asihan, dan sebagainya. Begitu pun para caleg, capres dan cawapres. Makin kinclong tampilan makin terlihat sinarnya dari bumi: gemerlap, kemilau, moncer.
Yang sampai ke bumi, ternyata cuma kilau cahaya saja, bukan sosok sebenarnya. Jadi ingat puisi panjang Emha Ainun Nadjib, yang kalimatnya, antara lain: bangsa Indonesia itu bangsa yang kuat, mereka tidak butuh cahaya karena tidak takut gelap, bahkan senang dalam kegelapan .... Cuplikan ini merupakan bagian dari pergulatan bathin, yang satu bersuara: Cintailah Ibu Pertiwi, yang lain bersuara: Jangan Cintai Ibu Pertiwi. Ini ungkapan opini publik saat pemilu caleg, capres dan cawapres. Sarkastis, memang.
Yang yang dibutuhkan bukan yang kinclong tampilan ataupun tabiat klincong, namun akhlak yang mulia, yang membumi, yang merakyat. Bukan kekuasaan yang jadi tujuan melainkan ukhuwah wathoniyah - jalinan kebangsaan. Bukan sekedar poli-tikus melain negarawan.