Oleh : Tawati
(Muslimah Revowriter Majalengka dan Member Writing Class With Has)
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Barat (DP3AKB Jabar) berhasil menekan angka pernikahan anak di Jawa Barat melalui program Stop Perkawinan Anak Jawa Barat (Stopan Jabar).
“Perkawinan anak ini adalah akar atau sumber dari masalah keluarga lainnya, karena menyebabkan kematian pada ibu dan anak, anak secara fisik belum siap hamil dan melahirkan risiko terjadinya distosia atau kesulitan dalam melahirkan, risiko pendarahan yang mengarah pada risiko kematian ibu dan anak," tegas Iin Indasari dalam Podcast Juara.
Beliau juga menuturkan, “Perkawinan anak rentan menyebabkan kekerasan rumah tangga, karena secara fisik, ekonomi dan mental masih belum siap dalam mengarungi perkawinan. Kekerasan bukan hanya milik perempuan dan anak tetapi juga pada laki-laki. Kekerasan ini dapat mendorong perceraian, kehilangan sumber penghasilan rentan dan terhadap perdagangan orang atau human trafficking. Ini efek dominonya luar biasa." (Jabarprov.go.id, 31/5/2021)
Menikah usia dini saat ini tidak relevan dengan kondisi zaman, karena mereka tidak matang mentalnya. Tak dipungkiri bahwa generasi Muslim saat ini mengalami masa kelambatan berpikir, sementara fisik mereka digempur oleh situasi yang mempercepat kedewasaan biologis.
Kita seolah terbiasa memandang anak-anak SD kelas 3, 4, 5 dan 6, sebagai ”anak-anak”. Bahkan usia SMP dan SMA pun masih dipandang anak-anak. Kalimat “jangan rampas kegembiraan usia kanak-kanak mereka”, dipahami sebagai hidup tanpa tanggung jawab.
Sarapan pagi masih disiapkan, baju-baju dan sepatu masih dicucikan, semua pekerjaan rumah tangga dikerjakan pembantu, dan akhirnya anak-anak kita pun terbiasa hidup tanpa kemandirian.
Kurikulum yang diterapkan di sekolah-sekolah pun tidak menjamin anak untuk mengalami kematangan berpikir. Ilmu yang dipelajari hanya menjadi memori singkat, tanpa mengerti bahwa ilmu itu harus menjadi alat untuk menyelesaikan masalah kehidupan.
Sementara di sisi lain, kultur kehidupan masyarakat memacu hormon-hormon pertumbuhan termasuk diantaranya hormon seksualitas. Aurat wanita terpampang di mana-mana. Kehidupan bebas antara pria dan wanita semakin memicu kematangan seksual.
Media-media massa membombardir mata masyarakat dengan tayangan-tayangan pornografi, pornoaksi dan kehidupan seks bebas. Sarana internet yang seharusnya menjadi alat bantu bagi dunia pendidikan justru menjadi momok yang mempercepat hancurnya moral bangsa.
Ketika anak-anak terhambat untuk mencapai kematangan berpikir di usia dewasa, maka negara kehilangan generasi pemimpin yang berkualitas. Para pemimpin tak menyadari bahwa musuh-musuh Islam sedang menghentikan laju progresivitas umat Islam.
Istilah pernikahan dini adalah propaganda Barat untuk menaikan usia pernikahan. Bergulir berbagai UU yang justru bagaikan memutar jarum jam agar berhenti bahkan kalau bisa bergerak terbalik. Istilah anak pun dikaburkan.
UU Perkawinan yang berlaku saat ini sebenarnya telah memundurkan target kedewasaan berpikir seorang anak, dari usia 9 tahun menjadi 16 tahun. Namun itu pun masih ditutupi dengan UU Perlindungan anak yang menambah mundur istilah anak menjadi usia 19 tahun.
Di sisi lain, kehidupan bebas mempercepat kematangan biologis anak. Maka disiapkan rancangan yang semakin merusak dengan legalisasi perzinahan yang tersembunyi secara manis di balik program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR).
Ketika remaja putri terjerumus dalam situasi ”Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD)” akibat pergaulan bebas, telah siap pula paket kejahatan legalisasi aborsi yang terlipat rapi di balik program penurunan Angka Kematian Ibu (AKI).
Dalam pandangan Islam kedewasaan adalah saat anak mulai akil baligh secara biologis, maka saat itulah sebenarnya potensi kematangan berfikir bisa berfungsi optimal. Orang tua menjadi penanggung jawab utama kematangan berpikir anak. Konsekuensi ketika seorang anak memasuki usia akil baligh, mereka harus mampu memikul tanggung jawab sebagai seorang muslim dan muslimah dewasa.
Kematangan pernikahan sesungguhnya tidak tergantung usia. Islam tidak menentukan usia pernikahan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dalil yang menunjukkan bahwa Islam tidak menentukan usia pernikahan ialah bahwa di dalam Al-quran dan As-sunnah tidak pernah ditemukan keterangan tentang batasan usia pernikahan.
Sebaliknya, justru banyak dalil yang menunjukkan kebalikannya misalnya pernikahan Rasulullah SAW dengan Ummul Mukminin Aisyah. Di dalam Shahih Muslim dituturkan sebuah riwayat dari Aisyah, beliau berkata: Rasulullah SAW menikahiku pada usiaku yang keenam. Dan beliau tinggal serumah denganku pada usiaku yang kesembilan. (HR. Muslim)
Menurut kacamata Islam, menikah di usia dini tidak menjadi masalah jika syarat dan rukun nikah dipenuhi dan tidak ada pelanggaran hukum syara di dalamnya. Selama semua hal tersebut dipenuhi maka menikah di usia dini menjadi sah-sah saja. Boleh menikah dini asalkan bertanggung jawab terhadap pilihan tersebut, bukan untuk main-main atau berbekal nekat bin kebelet.
Pelanggaran syariat Islam yang dimaksud salah satunya adalah kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) karena perempuan yang menikah dalam kondisi hamil jelas diharamkan dan akad nikahnya menjadi batal. Penjelasan detilnya dapat dibaca dalam kitab-kitab fikih Islam. Risiko yang mungkin terjadi pada nikah muda seperti kematian ibu dan anak pada fase hamil-melahirkan bisa diminimalisir dengan menyiapkan diri (lahir-batin).
Sungguh kondisinya sangat jauh berbeda anak-anak pada saat di mana Islam dijadikan sebagai way of life dan diterapkan oleh sebuah Negara (ad-Daulah) tingkat kematangan psikologis anak-anaknya sudah jauh lebih siap dibandingkan anak-anak zaman sekarang.
Sedangkan anak-anak zaman sekarang kebelet untuk menikah namun kurang siap dari sisi mental, kematangan berpikir dan juga sisi ekonominya. Maka terjadilah banyak masalah setelah menikah karena mereka gagap tanggung jawab dalam berumah tangga.
Dalam naungan negara yang menerapkan Islam secara kaffah, pendidikan (taklim) dan pembinaan (tasqif) akidah anak-anak betul-betul berjalan optimal. Kepribadian (syakhsiyah) mereka digembleng sehingga saat balig mereka telah siap menerima taklif hukum syariat, termasuk perihal pernikahan. Jadi, kesiapan untuk menikah pun telah ada sejak dini.
Maka sebenarnya bukan soal berapa batas usia menikahnya yang perlu kita soroti, tapi tentang bagaimana menyiapkan generasi muda kita agar siap menghadapi kehidupannya ketika dewasa, termasuk agar mereka siap untuk menikah nanti.
Dengan demikian, yang menjadi ancaman dan bahaya bagi generasi kita sesungguhnya adalah sistem sekular-liberal yang melahirkan pergaulan bebas. Bukanlah perkawinan anak yang perlu dipersalahkan dan ditekan namun sistem sekuler-kapitalisme yang menjadi akar persolan bagi kekerasan dalam rumah tangga, dan seabreg permasalahan lainnya.
Sistem ini telah mencetak generasi yang tak siap mendewasa dan bertanggung jawab, ironisnya ketika pernikahan dini dicegah, pergaulan bebas dibiarkan. Maka yang harus kita lakukan adalah bagaimana agar sistem yang menaungi para remaja kita tidak lagi sistem sekular-liberal, namun sistem Islami yang membentuk pribadi yang kokoh imannya, kuat kepribadiannya dan tangguh menghadapi tantangan zaman.
Alhasil, perubahan sistem mutlak harus dilakukan pada semua aspek kehidupan, tidak hanya pada aspek atau bidang sosial saja karena satu sama lain pastinya akan saling terkait.
Wallahu a'lam bishshawab.
***