Foto: Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (Cuplikcom/Nabila Ebivalia)
Cuplikcom-Jakarta-Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 yang menjadi perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.
Dalam beleid tersebut, Jokowi menunjuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jenderal TNI (Purn.) Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Ketua Komite Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.
Di perpres sebelumnya, Menko Perekonomian yang mengkoordinasikan percepatan pelaksanaan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat Jakarta-Bandung. Kini tugas tersebut resmi diemban oleh Luhut.
Ketua Komite bertugas mengkoordinir dan menetapkan langkah yang perlu diambil untuk mempercepat proyek ini. Salah satunya mengenai masalah kenaikan biaya proyek alias cost overrun.
Pada pasal 3A Perpres tersebut, anggota komite lainnya yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
"Ketentuan lebih lanjut mengenai Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi," tulis Pasal 3A Poin 3.
Komite memiliki tugas untuk menyepakati dan/atau menetapkan langkah yang perlu diambil untuk mengatasi bagian kewajiban perusahaan patungan. Dalam hal terjadi masalah kenaikan dan/atau perubahan biaya pada proyek ini yang meliputi perubahan porsi kepemilikan perusahaan patungan, penyesuaian persyaratan dan jumlah pinjaman yang diterima oleh perusahaan patungan.
Komite juga bisa menetapkan bentuk dukungan pemerintah yang dapat diberikan untuk mengatasi bagian kewajiban perusahaan patungan, seperti perubahan biaya. Hal ini meliputi rencana penyertaan modal negara kepada pimpinan konsorsium BUMN, dan pemberian penjaminan pemerintah atas kewajiban pimpinan konsorsium BUMN untuk pemenuhan modal.
Adapun pendanaan yang dimaksud adalah penerbitan obligasi oleh konsorsium BUMN, pinjaman, dan pendanaan lainnya dari APBN.
"Pendanaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam rangka menjaga keberlanjutan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dengan memperhatikan kapasitas dan kesinambungan fiskal," bunyi pasal 4 ayat 2.