Foto: Bupati Non Aktif Hulu Sungai Utara Wabdul Wahid usai diperiksa KPK di Jakarta (Cuplikcom/Riko Indrianto)
Cuplikcom-Jakarta-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Hulu Sungai Utara nonaktif Abdul Wahid (AW) sebagai tersangka dalam kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Penetapan TPPU tersebut merupakan pengembangan dari kasus yang sebelumnya menjerat Abdul Wahid, yaitu dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, tahun 2021-2022.
"Dari temuan bukti, KPK kembali menetapkan tersangka AW sebagai tersangka dalam dugaan perkara TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang)," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan setelah tim penyidik mendalami dan menganalisa dari rangkaian alat bukti yang ditemukan dalam proses penyidikan kasus suap dan gratifikasi oleh tersangka Abdul Wahid, diduga ada beberapa penerimaan yang dengan sengaja disamarkan dan diubah bentuknya serta dialihkan kepada pihak lain.
Ali mengungkapkan TPPU tersebut diterapkan karena diduga ada bukti permulaan yang cukup terjadi perubahan bentuk dari hasil tindak pidana korupsi kepada aset-aset bernilai ekonomis seperti properti, kendaraan, dan menempatkan uang dalam rekening bank.
"Informasi yang kami terima, diduga ada pihak-pihak yang dengan sengaja mencoba untuk mengambil alih secara sepihak aset-aset yang diduga milik tersangka AW," kata Ali.
Selain itu, kata dia, KPK juga mengingatkan agar dalam proses penyidikan kasus yang menjerat Abdul Wahid, tidak ada pihak-pihak yang dengan secara sadar dan sengaja mencoba mencegah, merintangi atau menggagalkan penyidikan kasus.
Ali mengatakan KPK tak segan menerapkan sanksi pidana sebagaimana ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Sebelumnya, KPK telah menetapkan Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi.
Penetapan Abdul Wahid sebagai tersangka merupakan pengembangan dari kasus yang menjerat Maliki (MK) selaku Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan (PUPRP) Hulu Sungai Utara, Marhaini (MRH) dari pihak swasta/Direktur CV Hanamas, dan Fachriadi (FH) dari pihak swasta/Direktur CV Kalpataru.
KPK menduga pemberian komitmen bagian yang diduga diterima Abdul Wahid melalui Maliki, yaitu dari Marhaini dan Fachriadi dengan jumlah sekitar Rp500 juta.
Selain melalui perantaraan Maliki, Abdul Wahid juga diduga menerima komitmen bagian dari beberapa proyek lainnya melalui perantaraan beberapa pihak di Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara, yaitu pada 2019 sekitar Rp4,6 miliar, pada 2020 sekitar Rp12 miliar, dan pada 2021 sekitar Rp1,8 miliar.