Vendor TI global di Indonesia tampaknya belum terimbas dampak resesi. Bahkan ada yang memproyeksikan akan mengalami kenaikan market share di Indonesia.
Direktur Divisi StorageWorks HP Indonesia Eril Pasaribu mengatakan meskipun sedang krisis ekonomi, tetapi tetap ada peluang. Sebuah survei menunjukkan 48% CEO di Asia Pasifik yakin, saat krisis seperti sekarang justru adalah waktu yang tepat untuk melakukan restrukturisasi TI.
"Misalnya dari kebutuhan 100 server menjadi 50 server. Namun efektifitas tidak boleh turun, dengan cara memanfaatkan teknologi baru. Kalau di server, misalnya dengan virtualisasi," katanya, di Jakarta, kemarin.
Ia menambahkan krisis ekonomi merupakan proses seleksi alam. Karena berdasarkan pengalaman krisis sebelumnya, sektor usaha yang terus melakukan investasi TI dan bisa survive, justru menjadi besar setelah krisis.
Bagi HP, tambah Eril, krisis justru menimbulkan peluang. Karena konsumen lebih peduli dengan teknologi baru. Konsumen juga semakin tahu, mana produk yang bagus dan mana yang jelek.
"Konsumen semakin cerdas. Konsumen melakukan smart investment dengan memilih teknologi yang tepat guna. Konsumen memilih teknologi baru yang benar-benar bisa mengurangi biaya," jelasnya.
Selain itu perusahaan menengah juga cenderung terus investasi meskipun sedang krisis. Beberapa produk, tambah Eril juga tidak bisa ditinggalkan. Misalnya storage adalah produk yang harus terus dibeli jika data perusahaan semakin besar.
"Seperti di perusahaan telekomunikasi, jika jumlah pelanggan naik maka kebutuhan storage juga bertambah. Pembelian server bisa distop, tapi kalau storage tetap harus dibeli," jelasnya.
Sales dan Allience Direktur SAS Institute Indonesia Jongki Sundah mengatakan situasi krisis membuat perusahaan lebih aktif mencari terobosan. Sebagai penyedia aplikasi business intelegent, SAS juga merasa diuntungkan karena menyediakan solusi agar perusahaan tidak terlambat dan kalah dari kompetitor.
"Siapa yang duluan bisa menemukan kebutuhan konsumen dan menyediakan produk yang tepat maka perusahaan itulah yang akan untung. Yang datang terlambat, meskipun produknya lebih menarik maka tidak akan kebagian," imbuhnya.
Ia menambahkan produk business intelegent yang oleh SAS telah ditingkatkan menjadi business analytics, lebih cepat memberikan analisis pada perusahaan. Menurut perhitungan SAS, investasi yang dibelanjakan untuk solusi business analytics bisa kembali dalam 6 hingga 9 bulan.
Country Manager SAS Institute Indonesia Uday Matkhar mengatakan pasar business intelegent di Indonesia sangat potensial. Tahun ini, market solusi business intelegent dan business analitycs diperkirakan mencapai US$ 6 juta. Padahal tahun lalu hanya mencapai setengahnya.
Ia mengatakan permasalahan business intelegent di Indonesia bukan karena perusahaan tidak memiliki budget. Namun lebih dikarenakan faktor edukasi, karena konsumen belum sepenuhnya memahami pentingnya teknologi itu.
Tapi SAS tahun ini menargetkan bisa menguasai market share di atas 30%. Pada tahun lalu penguasaan pasar mencapai kisaran 20%.
Sementara vendor TI lain, Nortel tidak menjadikan harga sebagai pemikat konsumen. Channel Account Manager Nortel Indonesia Hunady Budihartono mengatakan karena krisis, Nortel memang melakukan kebijakan harga berupa diskon. Namun bentuknya dengan memberikan fitur tambahan pada konsumen.
"Jadi harganya tetap, tapi konsumen mendapatkan fitur lebih banyak," katanya. Nortel juga mengunggulkan efisiensi. Karena di saat krisis, perusahaan ingin mengurangi cost dengan cara investasi teknologi baru.