Kegusaran publik meluap karena banyaknya kelemahan pelaksanaan Pemilu 2009. Persepsi yang muncul saat ini adalah Pemilu ini menjadi yang terburuk dalam sejarah bangsa.
Itu sebabnya, kecuali meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bertanggung jawab, sejumlah pihak meminta badan internasional datang mengawasi Pilpres.
Permintaan itu, di antaranya, muncul dari Rizal Ramli, tokoh politik yang kini mendekat ke Blok Teuku Umar. Dia mengimbau dan meminta badan-badan pengawas internasional datang. Badan itu antara lain European Union, Carter Center, IFES, dan sebagainya. Lembaga-lembaga pemantau internasional pernah melakukan pengawasan pada Pemilu 1999 dan 2004.
"Bersama LSM dan lembaga independen yang berkepentingan, kita mengimbau dan meminta badan-badan pengawas pemilu internasional itu hadir di Tanah Air untuk mengawasi Pilpres, Juli nanti," tutur Rizal Ramli dari Blok Perubahan di Jakarta, Kamis (23/4).
Banyak pihak menduga, ada kecurangan sistemik yang melibatkan perangkat negara dalam Pemilu kali ini. Pemilu yang menelan biaya sebesar Rp 21,93 triliun terbukti sangat buruk. Hal itu sekaligus dapat memberikan pengaruh buruk terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Para analis melihat, demi tegaknya legitimasi politis dan moral DPR yang akan datang, pemerintah wajib dan paling bertanggung jawab terhadap kesemrawutan pelaksanaan Pemilu 2009.
Hermawan Sulistyo, Hariman Siregar, Ray Rangkuti, dan Ramlan Surbakti menyarankan agar pemerintah mengganti segera KPU beserta jajaran puncak sekretariat jenderal. Pemerintah harus menggantinya dengan personal yang independen dan memiliki kemampuan managerial dan teknis. "Ini penting agar kepercayaan publik bisa pulih," kata Kiki, panggilan akrab Hermawan Sulistyo.
Para analis politik juga menyarankan agar Pilpres dapat dilaksanakan dengan hanya menggunakan KTP dan tinta yang berkualitas tinggi. "Bila diperlukan, dapat diterbitkan Perpres atau Perpu sebagai payung hukumnya," kata Ray Rangkuti, Direktur Lima. Dengan begitu, puluhan juta warga yang kehilangan hak pilih pada Pemilu, bisa mendapatkannya pada Pilpres.
Adapun untuk penghitungan di Pusat Tabulasi Nasional, teknologi ICR diganti dengan OMR agar tercapai zero error (tanpa kesalahan) dan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap hasil perhitungan.
Sejauh ini, organisasi pemantau independen atau IMO melaporkan indikasi korupsi dalam penyelenggaraan Pemilu 2009 ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Fahmi Badoh, anggota organisasi pemantau yang berasal dari ICW, ada lima pengadaan dalam pelaksanaan pemilihan legislatif yang terindikasi korupsi. Lima pengadaan itu adalah surat suara, kotak suara, teknologi informasi, pemutakhiran data pemilih, dan sosialisasi pemilu.
Untuk pengadaan surat suara, KPU menganggarkan Rp 482,92 miliar. Dan diduga telah terjadi kerugian negara Rp 7,19 miliar. Pengadaan kotak suara nilai tender sebesar Rp 33,34 miliar dan dugaan kerugian negaranya Rp 33,18 miliar.
Untuk pengadaan teknologi informasi, nilai tendernya sebesar Rp 234,02 miliar dan dugaan kerugian negara mencapai Rp 216,07 miliar. Dalam pengadaan pemutakhiran data DPT, diduga terjadi kerugian negara Rp 15,31 miliar dari nilai proyek Rp 54,7 miliar. Dan untuk biaya sosialisasi sebesar Rp 12,92 miliar diduga telah terjadi kerugian negara Rp 12,92 miliar.
"Dari lima pengadaan itu diduga kerugian negara mencapai Rp 284,28 miliar," jelas Fahmi Badoh. Sejauh ini, Ketua KPK Antasari Azhar mengatakan, lembaganya mulai mengumpulkan data dugaan korupsi dalam pengadaan teknologi Intelligent Character Recognition (ICR). Teknologi ICR itu selama ini dituding sebagai kambing hitam keterlambatan proses penghitungan suara di Pusat Tabulasi Nasional.