Di sidang pemeriksaan pendahuluan yang lalu, Pemohon mendalilkan diri sebagai kesatuan masyarakat adat. Namun, berdasarkan masukan dari Hakim Konstitusi Akil Mochtar, para Pemohon kini mengubah kedudukan hukumnya menjadi perseorangan warga negara Indonesia.
Para Pemohon tersebut menilai hak konstitusionalnya dirugikan dengan materi Pasal 7 UU Maybrat. Pemohon mendalilkan dengan berlakunya UU a quo, hak-hak dasar dari Badan Musyawarah Hukum Adat Maybrat menjadi hilang. Wewenang tertentu yang mereka miliki dalam rangka perlindungan hak-hak asli adat Papua yang berlandaskan pada penghormatan terhadap hukum adat dan budaya serta aspirasi dalam menentukan Ibukota Kabupaten Maybrat sesuai dengan Musyawarah Adat Masyarakat Maybrat dan Musyawarah Badan Perwakilan Kampung (BAPEKAM) yang telah menunjuk Fategomi sebagai ibukota Kab. Maybrat juga ikut tercerabut.
Pasal a quo menurut pemohon juga mengakibatkan timbulnya konflik bernuansa kesukuan, antara Suku Ayamaru, Aitiyo, dan Aifat sehingga tidak kondusif dalam menjalankan aktivitas keseharian. "Ini adalah pelanggaran hak masyarakat adat. Kondisi di lapangan sekarang banyak terjadi kerusuhan," tutur Izaskar Jitmau, salah satu Pemohon. Ia pun ingin menegaskan bahwa di Papua, hukum tertulis adalah wasit, sementara hukum adat adalah pemain.
Pemohon juga menggarisbawahi jika kedatangan mereka ke MK ingin menjelaskan bahwa bupati caretaker Maybrat belum menjalankan tugas sampai sekarang.
Hakim konstitusi Achmad Sodiki yang mengetuai sidang menuturkan bahwa kebijakan bisa dinilai Majelis Hakim, sepanjang memang sewenang-wenang dan melampaui batas. "Yang penting, jangan sampai ada kekerasan dalam menyelesaikan persoalan. Kita adalah sesama bangsa Indonesia dan kita semua telah memercayakan hukum sebagai cara terbaik menuntaskan persoalan ini," nasehat Sodiki dalam perkara No. 18/PUU-VII/2009 ini.
Pada kesempatan ini, Majelis Hakim mengesahkan 25 alat bukti tertulis dan memberi kesempatan kepada Pemohon untuk mengajukan saksi dan ahli dalam persidangan berikutnya.